Sejak akhir 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi dan politik yang parah. Hanya dalam tempo kurang dari satu tahun nilai rupiah terhadap dollar jatuh hingga 5 sampai 6 kali lipat. Jika kemarin Indonesia sanggup membayar utang luar negeri dalam waktu 20 tahun, berarti sekarang utang itu baru bisa dilunasi seratus tahun lagi! Dua atau tiga generasi mendatang utang itu belum akan terlunasi. Betapa sengsaranya nasib bangsa Indonesia. Dalam kondisi tertekan seperti ini, kebijakan para pemimpin negara berkembang seringkali bersifat pragmatis, yaitu memilih yang paling menguntungkan dirinya sendiri. Akhirnya mereka membebek saja terhadap semua kehendak dan kemauan barat. Hanya sedikit pemimpin yang memiliki karakter, jiwa besar, dan semangat tinggi untuk membawa bangsanya ke arah kemajuan yang tidak berorientasi ke Timur maupun ke Barat. Ia mampu menggelorakan semangat kembali kepada nilai-nilai dasar yang paling asasi, yaitu agama yang dianut dan dipeluknya selama ini.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa secara psikologis terdapat kecenderungan negara terbelakang meniru apa saja yang datang dari negara yang dianggapnya lebih maju. Dalam konteks sekarang, karena yang dianggap negara maju adalah barat, maka apa saja yang datang dari barat mesti ditiru dan dijadikan model. Dalam perpolitikan misalnya, maka sistem politik yang paling dianggap ideal sekarang ini adalah yang datang dari barat. Akhirnya liberalisme, yang memberi porsi sangat besar kepada individu, menjadi model bagi semua negara berkembang. 'Kebebasan' dalam arti serba-boleh menjadi bagian terpenting dari trend tuntutan mereka di banyak negara, tak terkecuali di Indonesia. Begitu juga dalam urusan ekonomi. Liberalisme ekonomi seakan menjadi satu-satunya pilihan, sekalipun negara-negara berkembang kini telah dihajar habis-habisan oleh barat. Bertahun-tahun Indonesia membangun negaranya dengan pengorbanan rakyat yang luar biasa besarnya, tapi hasil pembangunan itu bisa dimusnahkan dalam waktu sekejap saja. Betapa mudahnya barat menghancurkan perekonomian suatu negara. Krisis yang terjadi di Indonesia, selain karena kesalahan dari dalam, tidak lepas dari rekayasa mereka. Tapi dasar nasib negara-negara berkembang yang secara psikologis memiliki mental rendah, maka jiwa budaknya selalu tampil membela tuannya. Biarpun sepatu tuannya sudah menempel di pipinya, mereka masih bertanya, 'apakah sepatu tuan bisa kami bersihkan ?'
Indonesia harus berani bersikap tegas dalam urusan ini. Jangan sampai latah mengikuti barat secara membabi-buta. Yang perlu disadari bahwa peradaban barat itu bukan peradaban dunia. Sejarah barat bukanlah sejarah dunia. Pola pikir dan ideologi barat bukan sumber inspirasi dalam menciptakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Barat mempunyai ideologi, Islam juga punya. Barat memiliki pola pikir dan pola sikap, Islam juga memilikinya. Sikap bangsa Indonesia dalam hal ini seharusnya : Biarkanlah barat hancur dengan ideologinya, sementara kita membangun peradaban dunia dengan nilai-nilai Islam saja. Dengan sikap yang tegas ini, tentu saja Barat tidak suka. Mereka akan berbuat macam-macam untuk membungkam mulut dan mematahkan langkah penentangnya. Mereka akan selalu berusaha membuat citra Indonesia buruk, lalu akan mengisolasi, menjatuhkan sanksi berupa embargo ekonomi, sampai kepada memboikot secara penuh. Mereka juga masih bisa menempuh jalur lebih keras, yakni kekuatan militer, yang tentu saja bisa menghancur-lumatkan sebuah negara berkembang.
Mereka kini telah menguasai hampir seluruh sumber daya yang ada. Ekonomi mereka kuasai secara penuh, informasi ada dalam genggamannya, politik ada di tangannya, demikian juga kekuatan militer. Siapa yang tidak 'keder' menghadapi mereka? Yang diperlukan sekarang ini adalah sosok pemimpin yang memiliki kepribadian utuh dan karakter yang kuat untuk membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis tanpa harus membebek kepada barat. Indonesia butuh pemimpin sejenis Ayatullah Khomeini, yang berhasil mengenyahkan dominasi barat dan segenap penguasa-penguasa bonekanya. Indonesia membutuhkan pemimpin sekuat Saddam Hussein, yang mampu bertahan dari berbagai serbuan dan serangan barat, juga membutuhkan orang sejenis Fidel Castro, dan orang-orang yang berkarakter lainnya. Tentu saja bukan dalam arti Khomeini, Sadddam, dan Castro yang otoriter atau diktator, melainkan yang dibutuhkan adalah karakternya yang kuat dan kepribadiannya yang utuh agar bangsa ini menemukan kembali jati dirinya.
Jati diri bangsa Indonesia adalah Islam. Ini yang harus benar-benar dipahami oleh semua unsur bangsa. Sejak Sumpah Pemuda 1928, para pelopor bangsa telah berikrar bahwa bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia. Yang dimaksud di sini adalah Bahasa Melayu, yang notabene adalah simbol dari bahasa ummat Islam. Meski Sumpah Pemuda itu sendiri diikrarkan di tanah Jawa, mengapa mereka tidak menggunakan bahasa Jawa? Karena bahasa Jawa lebih banyak dipengaruhi unsur budaya Hindu, yang mengurangi persamaan derajat, sementara Bahasa Melayu lebih dipengaruhi unsur budaya Islam yang terbuka dan cenderung tidak membeda-bedakan. Karenanya, jika ummat Islam Indonesia kembali kepada Islam, pada dasarnya berarti telah kembali kepada asal yang sejati. Lihatlah perbendaharaan kata atau istilah yang dipakai untuk menamai lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara. Di sana ada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan sebagainya. Semuanya menggambarkan nilai dan budaya Islam, karena majlis, diwan, maupun mahkamah memang merupakan bahasa Islam.
Kenapa setelah merdeka justru Indonesia berbelok arah, menghadapkan wajah ke barat dan ke timur? Kenapa tidak kembali ke Islam saja? "Kebajikan itu bukannya kamu menghadapkan wajah ke barat atau ke timur, tetapi al-birr itu siapa yang beriman kepada Allah, kepada hari akhir, kepada malaikat-Nya, dan kepada nabi-nabi..." (QS al-Baqarah: 177). Setelah lima puluh tahun merdeka, ternyata bangsa Indonesia masih harus terus-menerus melakukan coba-coba dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Masih tengok kanan tengok kiri mencari alternatif terbaik untuk membawa bangsa ini menuju cita-cita bersama. Dua pemimpin terdahulu bangsa Indonesia, Soekarno dan Soeharto, sama saja. Soekarno menengok ke timur (RRC) yang komunis, Soeharto ke barat.
Yang lebih parah lagi, kehidupan beragama menjadi begitu tertekan. Agama telah disejajarkan dengan nasionalisme dan komunisme. Lahirnya faham Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) pada jaman Soekarno menjadikan kehidupan beragama meredup, bagai lentera yang kehabisan sumbu. Akhir dari episode itu adalah tumbangnya rezim Soekarno. Kemarahan rakyat tidak lagi bisa dibendung. Mereka menuntut agar Soekarno diadili di meja hijau dan semua harta kekayaannya dibekukan. Akhirnya Soekarno meninggal dunia semasa dalam tahanan atau isolasi, sebelum proses pengadilan itu sendiri berlangsung. Hal yang hampir sama terjadi pada saat ini, di mana Soeharto telah dipaksa mundur dan kekayaannya diusut. Hanya saja Soeharto masih hidup, dan tidak dalam tahanan. Antara Soekarno dan Soeharto mempunyai kesamaan nasib. Keduanya sama-sama diturunkan rakyat dari kursi kepresidenannya. Bedanya, Soekarno turun karena suatu 'revolusi', sedangkan Soeharto turun karena 'reformasi'.
Yang patut disesalkan, kenapa pada waktu revolusi dahulu, ketika terjadi pergantian pemimpin negara dari Soekarno ke Soeharto tidak terjadi revolusi ideologi. Sebab ideologi itu sendiri patut dipertanyakan bila pencetusnya sudah melanggar atau melenceng dari padanya, dan bahkan ingin mengubahnya. Hasil perenungannya itu bisa saja salah, karena manusia memang tidak lepas dari kesalahan. Tampilnya Soeharto ternyata mengulangi kesalahan yang sama. Ia tetap akan membungkus ideologi dunia yang lain dengan ideologi lokal hasil perenungan orang yang telah dinyatakan melenceng tersebut. Malah ternyata Soeharto bertindak lebih keras dan kejam lagi. Ada pemaksanaan secara sistematis untuk menjadikan ideologi itu sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk berorganisasi dan melakukan apa saja. Lahirlah P4 untuk masyarakat umum, dan pelajaran PMP untuk para pelajar di sekolah. Hal ini merupakan pemaksaan yang sangat sistematis dan rapi. Entah berapa biaya dan tenaga yang telah diboroskan untuk proyek besar yang mubazir ini, sampai-sampai ada biro khusus, malah terakhir ada menteri khusus untuk menanganinya. Asas tunggal yang dipaksakan ini telah membawa korban yang sangat besar dari ummat Islam.
Timbullah berbagai penolakan yang ujung-ujungnya adalah peristiwa tragis di Tanjung Priok, Jakarta . Beberapa organisasi Islam yang besar ikut-ikutan pecah. Demikian pula tokoh-tokoh ummat. Ada yang menerima, ada sebagian menolak. Mereka yang tidak menerima akan dicap ekstrem, fundamentalis, yang karenanya berhak dimusnahkan dari negara republik ini. Ada yang mereka lupakan, bahwa negara ini bukan milik seseorang. Negara ini tidak diwariskan dari nenek moyang mereka. Negara ini adalah bagian dari buminya Allah. Allah-lah yang paling berhak menempatkan seseorang di bagian bumi mana pun, di perut perempuan mana pun ia dikandung. Allah yang mempunyai hak penuh tentang hal ini. Oleh karenanya, Dia-lah yang mestinya ditanya, apakah orang-orang yang tidak menerima ideologi tertentu itu tidak berhak hidup di bumi-Nya? Jika tidak berhak, kirim saja ke neraka. Jika berhak, kenapa harus dikejar-kejar, dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh? Ini suatu kezhaliman yang di luar batas kemanusiaaan. Orang-orang yang menolak semua ideologi buatan manusia, dan hanya mau menerima ajaran Alllah swt adalah orang yang paling berhak hidup di bumi, dan tentu saja yang paling berhak hidup di negeri ini. Merekalah orang-orang shalih yang kehadirannya ke dunia berperan untuk memakmurkan bumi, mensejahterakan alam, dan menegakkan sistem keadilan. Mereka berpihak kepada Allah, kepada hukum-Nya, dan kepada sistem kehidupan yang telah diciptakan-Nya.
Selama ini dikesankan bila orang mendasarkan perjuangannya kepada agama dicap sebagai SARA, sementara yang mendasarkan perjuangannya pada ideologi nasionalisme dianggap pejuang. Ini merupakan sikap yang sangat diskriminatif. Rupanya hal ini merupakan strategi rezim lama untuk meminggirkan peran ummat Islam di gelanggang nasional. Sekarang, apa hasilnya setelah Soeharto memaksakan kehendaknya dengan keharusan semua pihak untuk menerima asas tunggal? Dapatkah dengan pemaksaan seperti ini menjamin terpeliharanya integrasi nasional? Buktinya masalah Priok, Lampung dan Aceh masih belum selesai. Buktinya sampai sekarang masalah Timor Timur belum tuntas. Buktinya telah terjadi berbagai kerusuhan-kerusahan yang susul-menyusul di berbagai penjuru tanah air ini. Kenapa demikian? Karena Pancasila yang dijadikan landasan oleh rezim Soeharto tidak lain dari utak-atiknya sendiri. Ia, dengan dibantu para penasihatnya menafsirkan Pancasila tidak keluar dari dua ideologi besar, yaitu liberalisme dan sosialisme. Ada semacam sinkritisme ideologi, di mana Soeharto menerapkan liberalisme dalam ekonomi, sementara dalam politik ia tetap menggunakan cara-cara pendahulunya, yaitu sistem sosialisme. Dengan cara itu, rezim Soeharto mengontrol semua pusat-pusat kekuatan politik, sekaligus menguasai pilar-pilar ekonomi, yang dibangun atas dasar korupsi, kolusi dan kronisme. Ternyata apa yang dibangunnya selama ini telah menghancurkan dirinya sendiri. Tembok yang dibangun kuat-kuat itu telah menimpa dirinya sendiri.
Kini era reformasi telah datang, Soeharto juga sudah lengser atau bahkan longsor. Pertanyaannya, apakah kita akan tetap mengulangi kesalahan yang sama, yaitu hanya mengganti pemimpinnya saja? Jika jawaban kita "ya", sebaiknya kita ucapkan selamat tinggal pada reformasi. Percuma saja perjuangan reformasi itu, sebab dalam waktu dekat mereka yang menggantikannya akan mengulangi hal yang sama. Kita tinggal menunggu kapan saatnya bangsa ini hancur untuk ke sekian kalinya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar