Kamis, 12 Januari 2012

Teori Kepribadian dan Kesehatan Mental Menurut A.Maslow dan V. Frankl

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak sekali teori yang mengemukakan tentang kepribadian, akan tetapi dalam pembahasan makalah ini hanya akan membahas mengenai teori kepribadian maslow dan Frankl. Maslow menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi. Dan Frankl mengatakan kepribadian sehat itu adalah orang yang berorientasi kepada masa depan, diarahkan kepada tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang dan orang yang mampu menentukan makna hidup.


B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini antara lain:
1. Apa pengertian Teori Kepribadian menurut Abraham Maslow?
2. Apa pengertian Teori Kepribadian sehat menurut Frankl?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Teori Kepribadian Abraham Maslow
2. Mengetahui pengertian Teori Kepribadian sahat Frankl.
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Teori Kepribadian Abraham Maslow
1) Individu sebagai Kesatuan Terpadu
Pertama-tama Maslow menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi, sehingga motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu adalah motivsi individu seutuhnya bukan bagian darinya.[1] Menurut maslow manusia harus diselidiki sebagai sesuatu yang totalitas, sebagai suatu system, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain.[2] Pernyataan ini hampir menjadi aksioma yang diterima oleh semua orang, yang kemudian sering dilupakan dan diabaikan tatkala seseorang melakukan penelitian. Penting sekali untuk selalu disadarkan kembali hal ini sebelum seseorang melakukan eksperimen atau menyusun suatu teori motivasi yang sehat.
2) Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut.. Maslow membuat tingkatan kebutuhan manusia menjadi lima karakteristik. sebagai berikut:
a. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini
b. Kebutuhan akan rasa aman
Setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan. Untuk pribadi yang sehat, kebutuhan rasa aman tidak berlebih-lebihan atau selalu mendesak. Kebanyakan diantara kita ini tidak menyerah atau sama sekali tunduk kepada kebutuhan-kebutuhan rasa aman, tetapi dalam pada itu juga kita merasa tidak puas kalau jaminan dan stabilitas sama sekali tidak ada.
c. Kebutuhan sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini,belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya seorang sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
Maslow percaya bahwa makin lama makin sulit memuaskan kebutuhan akan memiliki dan cinta kerena mobilitas kita.begitu sering kita berganti rumah, tetangga, kota, bahkan pathner, sehingga kita tidak dapat berakar. Kita tidak cukup lama berada disuatu tempat untuk mengembangkan perasaan yang memiliki. Banyak orang dewasa merasakan kesepian dan terisolasi, meskipum mereka hidup ditengah-tengah orang banyak.
d. Kebutuhan akan penghargaan
Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk tumbuh berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut oleh Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima.
Konsep yang mendasar bagi teori maslow adalah manusia di motivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan berasal dari sumber genetis atau naluriah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak semata-mata bersifat fisiologis tetapi juga psikologis. Kebutuhan-kebutuhan itu merupakan inti dari kodrat manusia, hanya saja manusia lemah dan mudah diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah aspek instrinsik kodrat manusia yang tidak akan mati karena kebudayaan. Suatu kebutuhan dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1. ketidak-hadirannya menimbulkan penyakit
2. kehadirannya mencegah timbulnya penyakit
3. pemulihannya menyembuhkan penyakit
4. dalam situasi tertentu yang sangat komplek dan dimana orang bebas memilih, orang yang sedang berkekurangan ternyata mengutamakan kebutuhan itu dibandingkan jenis-jenis kepuasan lainnya.
5. Kebutuhan itu tidak aktif, lemah atau secara fungsional tidak terdapat pada orang yang sehat.
Suatu catatan yang diberikan oleh Maslow bahwa meskipun kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, namun jangan terlalu kaku menanggapinya, mungkin saja orang yang belum terpenuhi kebutuhan makanannya juga menginginkan rasa aman, atau orang yang belum sempurna rasa amannya juga menginginkan kasih sayang atau orang pada tingkat rendah mungkin akan terpuaskan hanya dengan makanan saja dan seterusnya.[3]
3). Kepribadian sehat menurut Maslow
Maslow berpendapat bahwa seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat, apabila dia telah mampu untuk mengaktualisasikan dirinya secara penuh (self actualizing person). Dia mengemukakan teori motivasi bagi self actualizinga-needs person, dengan nama metamotivation, meta-needs B-motivation, atau being values (kebutuhan untuk berkembang). Sementara motivasi bagi orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya dinamai D-motivation atau deficiency.Di bawah ini ciri-ciri dari metaneeds dan metapologi
Metanees :Sikap percaya,Bijak dan baik,Indah (estetis),Kesatuan (menyeluruh),Energik dan optimis,Pasti,Lengkap,Adil dan altruis,Berani,Sederhana (simple)
Metapologis :tidak percaya, sinis dan skeptic,benci dan memuakkan,vulgar dan mati rasa,disintegrasi,kehilangan semangat hidup,pasif dan pesimis,kacau dan tidak dapat diprediksi,tidak lengkap dan tidak tuntas,suka marah-marah, tidak adil dan egois,rasa tidak aman dan memerlukan bantuan,sangat komplek dan membingungkan
Mengenai self-actualizing person,atau orang yang sehat mentalnya, Maslow mengemukakanciri-cirinya sebagaiberikut.
1) Mempersepsi kehidupan atau dunianya sebagaimana apa adanya, dan merasa nyaman dalam menjalaninya
2) Menerima dirinya sendiri, orang laindan lingkungannya.
3) Bersikap spontan, sederhana, alami, bersikap jujr, tidak dibuat-buat dan terbuka.
4) Mempunyai komitmen atau dedikasi untuk memecahkan masalah di luar dirinya (yang dialami orang lain).
5) Bersikap mandiri atau independen.
6) Memiliki apresiasi yang segar terhadap lingkungan di sekitarnya
7) Mencapai puncak pengalaman, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami kegembiraan yang luar biasa. Pengalaman ini cenderung lebih bersifat mistik atau keagamaan
8) Memiliki minat social, simpati, empati dan altruis
9) Sangat senang menjalin hubungan interpersonal (persahabatan atau persaudaraan) dengan orang lain
10) Bersikap demokratis (toleran, tidak rasialis, dan terbuka)
11) Kreatif (fleksibel, spontan, terbuka dan tidak takut salah).

Pandangan maslow tentang hakikat manusia yaitu manusia bersifat optimistik, bebas berkehendak, sadar dalam memilih, unik, dapat mengatasi pengalaman masa kecil, dan baik. Menurut dia kepribadian itu dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan. Dalam kaitannya dengan peran lingkungan, khususnya di sekolah dalam mengembangkan self-actualization, Maslow mengemukakan beberapa upaya yang sebaiknya membantu siswa menemukan identitasnya (jati dirinya) sendiri. Diantaranya:
1) Membantu siswa untuk mengeksplorasi pekerjaan
2) Membantu siswa untuk memehami keterbatasan (nasib) dirinya
3) Membantu siswa untuk memperoleh pemahaman tentang nilai nilai
4) Membantu siswa agar memahami bahwa hidup ini berharga
5) Mendorng siswa agar mencapai pengalaman puncak dalam kehidupannya
6) Memfasilitasi siswa agar dapat memuaskan kebutuhan dasarnya (rasa aman, rasa berharga, dan rasa diakui).
B. Teori Kepribadian Victor Frankl
Logoterapi, Makna Kehidupan dan Kepribadian Sehat
Filsafat Logoterapi lahir dari kondisi yang suram dan tiada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Suasana Perang Dunia II benar-benar telah mencampakkan harga diri kemanusiaan sampai ke dasar terendahnya. Manusia tidak lagi dihargai sebagai entitas yang dapat mengambil keputusannnya sendiri. Institusi negara dan ideologi-ideologi totaliter telah merontokkan martabat manusia. Kita bisa melihat karya para filsuf eksistensialis yang sezaman dengan Frankl, seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre yang frustasi akan masa depan umat manusia. Mereka melihat kehidupan ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas.
Logoterapi berasal dari kata logos yang telah diadopsi dari bahasa Yunani dan berarti “makna” (meaning) dan juga “ruhani” (spirituality). Logoterapi ditopang oleh filsafat hidup dan insight mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi spiritual, selain dimensi somatis, dimensi psikologis dan dimensi sosial pada eksistensi manusia, serta menekankan pada makna hidup dan kehendak untuk hidup bermakna sebagai potensi manusia. Dalam logoterapi dimasukkan pula kemampuan khas manusia, yaitu self-detachment dan self-trancendence yang keduanya menggambarkan adanya kebebasan dan rasa tanggung jawab. Karakteristik eksistensi manusia menurut logoterapi adalah: keruhanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility) (Victor Frankl, “The Cocept of Man in Psychoterapy”, dalam Proceeding of the Royal Society of Medicine. Vol.47, 1954, hlm.979).
Setiap sistem dan metode psikoterapi pada dasarnya berlandaskan pada filsafat manusia yang khas. Sebagai contoh psikoanalisa dan behaviorisme, mazhab psikologi yang paling berpengaruh di Amerika sampai sekarang-sangat kental dipengaruhi oleh filsafat yang positivistik tentang manusia. Psikoanalisa dan Behaviorisme melihat perilaku manusia digerakkan oleh situasi yang deterministik.
Setiap model psikoterapi yang berusaha mengembalikan kebebasan manusia sebagai sesuatu yang kodrati, pastilah akan bersinggungan dengan dua mazhab besar diatas. Begitu juga Logoterapi. Frankl berusaha mengembalikan kebebasan sebagai sesuatu yang berharga bagi manusia. Filsafat manusia yang mendasari Logoterapi adalah semangat untuk hidup autentik guna mencapai kebebasan lewat upaya untuk hidup bermakna.
Frank membangun Logoterapi diatas tiga asumsi dasar yang satu sama lain saling mempengaruhi, yaitu :
1. Fredom of will (kebebasan bersikap dan berkehendak)
Frankl sangat menantang pendekatan-pendekatan psikologi/psikiatri yang menyatakan kondisi manusia dipengaruhi dan ditentukan oleh insting-insting biologis atau konflik masa kanak-kanak atau sesuatu kekuatan dari luar lainnya. Menurut Frankl meskipun kondisi luar tesebut mempengaruhi kehidupan, namun individu bebas memilih reaksi dalam menghadapi kondisi-kondisi tersebut. Manusia memang tidak akan dapat bertahan dan mampu menghilangkan kekuatan-kekuatan luar tersebut, tetapi bebas memilih sikap untuk menghadapi, merepson dang menangani kekuatan tersebut. Manusia harus menghargai kemampuannya dalam mengambil sikap untuk mencapai kondisi yang diinginkannya. Manusia tidak sepenuhnya dikondisikan dan ditentukan oleh lingkungannya, namun dirinyalah yang lebih menentukan apa yang akan dilakukan terhadap berbagai kondisi itu. Dengan kata lain manusialah yang menentukan dirinya sendiri.
2. Will to Meaning (kehendak untuk hidup bermakna)
Kehendak akan arti kehidupan maksudnya kebutuhan manusia untuk terus mencari makna hidup untuk eksistensinya. Semakin individu mampu mengatasi dirinya maka semakin ia mengarah pada suatu tujuan sehingga ia menjadi manusia yang sepenuhnya. Arti yang dicari tersebut memerlukan tanggung jawab pribadi karena tidak seorangpun bisa memberikan pengertian dan menemukan maksud dan makna hidup kita selain diri kita sendiri. Dan itu merupakan tanggung jawab masing-masing pribadi untuk mencari dan menemukannya. Menurut Frankl keinginan untuk hidup yang bermakna ini merupakan motivasi utama yang tedapat pada manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
3. Meaning of Life (makna hidup)
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang selalu berusaha untuk memaknai hidupnya. Pada beberapa orang, pencarian makna hidup bisa berakhir dengan keputusasaan. Keputusasaan dan kehilangan makna hidup ini merupakan neurosis, dan Frankl menyebut kondisi ini noogenic neurosis. Sebutan itu bermakna bahwa neurosis ini berbeda dengan yang disebabkan oleh konfliks psikologis dalam individu. Noogenic neurosis menggambarkan perasaan tidak bermakna, hampa, tanpa tujuan dan seterusnya. Orang-orang seperti ini berada dalam kekosongan eksistensial (existential vacuum). Tetapi Frankl mengatakan bahwa kondisi tersebut lumrah terjadi di zaman modern ini. Frankl menganggap bahwa makna hidup itu bersifat unik, spesisfik, personal, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidupnya yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu indikator ketidak bermaknaan hidup adalah rasa bosan. Orang-orang yang merasa bosan dan merasa bodoh terhadap noogenic neurosis disebabkan oleh:
1. Kehilangan instink-instink alamiah untuk berhubungan dengan alam
2. Merasa adat kebiasaan, tradisi, dan nilai-nilai untuk menentukan tingkah laku sehingga seakan ada yang mengatur langkah hidupnya
Mencari arti dapat merupakan tugas yang membingungkan, menantang dan menambah tegangan bukan mengurangi tegangan batin, namun sesungguhnya menurut Frankl, peningkatan tegangan ini adalah prasyarat untuk kesehatan psikologis. Kaitannya dengan kepribadian, menurut Frankl, suatu kepribadian yang sehat mengandung tingkat tegangan tertentu antara apa yang telah dicapai dan apa yang harus dicapai dimana orang – orang yang sehat selalu memperjuangkan tujuan yang akan memberikan arti tersebut.
Ada 3 cara yang dikemukakan oleh logotherapy untuk menuntun pada pencarian arti kehidupan, yaitu:
1. Dengan memberi kepada dunia lewat suatu ciptaan / karya.
2. Dengan mengambil sesuatu dari dunia melalui pengalaman
3. Dengan sikap yang diambil manusia dalam menyikapi penderitaan.
Ketiga cara tersebut kemudian terkait dengan tiga sistem nilai dalam pemberian arti kepada kehidupan, yaitu:
1. Nilai – nilai daya cipta; yang menyangkut pemberian kepada dunia, diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif. Arti diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang – orang lain yang merupakan suatu ungkapan individu.
2. Nilai – nilai pengalaman, menyangkut penerimaan dari dunia, diwujudakan dengan menyerahkan diri kepada keindahan yang ada di alam sekitar atau seni. Menurut Frankl ada kemungkinan memenuhi arti kehidupan dengan mengalami beberapa segi kehidupan secara intensif, walaupun individu tidak melakukan suatu tindakan yang positif. Yang menentukan bukan berapa banyak puncak yang kita capai atau berapa lama seseorang tinggal dalam tingkatan pencapaian tersebut namun intensitas yang kita alami terhadap hal – hal yang kita miliki.
3. Nilai-nilai sikap. Situasi-situasi yang menimbulkan nilai-nilai sikap ialah situasi-siatuasi dimana manusia tak mampu mengubah atau menghindari situasi tersebut. Apabila dihadapkan dalam situasi ini maka satu-satunya cara untuk menyikapinya adalah menerima situasi tersebut. Cara bagaiman manusia menerima situasi tersebut, keberanian dalam menahan penderitaan tersebut, kebijaksanaan yang kita perlihatkan ketika berhadapan dengan bencana marupakan ujian dan ukuran terakhir dari pemenuhan kita sebagai manusia.
Orang-orang yang menemukan arti dalam kehidupan mencapai keadaan transedensi diri, keadaan yang terakhir untuk kepribadian yang sehat. Dalam pandangan Frankl dorongan utama dalam kehidupan adalah bukan diri melainkan arti. Menjadi manusia sepenuhnya berarti mengadakan hubungan dengan seseorang atau orang lain di luar diri sendiri.
Menurut Frankl, terdapat dua tujuan yang berorientasi pada diri adalah kesenangan dan aktualisasi diri.
1. Frankl menyatakan semakin banyak kita dengan sengaja berjuang untuk kesenangan maka mungkin semakin kurang kita mendapatkannya.
2. Satu-satunya cara untuk mengaktualisasikian-diri ialah melalui pemenuhan arti di luar diri.
Dari pengalaman hidupnya, Frankl belajar bahwa manusia dapat kehilangan segala sesuatu yang dihargainya kecuali kebebasan manusia yang sangat fundamental yaitu kebebasan untuk memilih suatu sikap atau cara bereaksi terhadap nasib kita, kebebasan untuk memlilih cara kita sendiri. Apa yang berarti dalam eksistensi manusia, bukan semata-mata nasib yang menantikan kita, tetapi bagaimana cara kita menerima nasib itu. Frankl percaya bahwa arti dapat ditemukan dalam semua situasi, termasuk penderitaan dan kematian. Frankl berasumsi bahwa hidup ini adalah penderitaan, tetapi untuk menemukan sebuah arti dalam penderitaan maka kita harus terus menjalani dan bertahan untuk tetap hidup. Frankl menyatakan pentingnya dorongan dalam mencari sebuah arti untuk eksistensi manusia sebagai suatu sistem, yang kemudian disebut logoterapy. Logoterapy kemudian menjadi model psikoterapinya.
Menurut Frankl, keadaan dimana seorang individu kekurangan arti dalam kehidupan disebut sebagai kondisi noőgenic neurosis. Inilah keadaan yang bercirikan tanpa arti, tanpa maksud, tanpa tujuan dan hampa. Menurut Frankl, individu semacam ini berada dalam kekosongan eksistensial (existential vacuum), suatu kondisi yang menurut keyakinan Frankl adalah lumrah dalam zaman modern.
Menurut Frankl, hakekat dari eksistensi manusia terdiri dari 3 faktor, yaitu:
1. Spiritualitas. Spiritualitas adalah suatu konsep yang sulit dirumuskan, tidak dapat direduksikan, tidak dapat diterangkan dengan istilah – istilah material, meskipun dapat dipengaruhi oleh dunia material, namun tidak dihasilkan atau disebabkan oleh dunia material itu.
Merupakan suatu konsep yang sulit dirumuskan namun tidak dapat direduksikan dan tidak dapat diterangkan dengan bentuk-bentuk yang bersifat material, kendatipun spiritual dapat dipengaruhi oleh dimensi kebendaan. Namun tetap saja spiritualitas tidak dapat disebabkan ataupun dihasilkan oleh hal-hal yang bersifat bendawi tersebut. Istilah spiritual ini dapat disinonimkan dengan istilah jiwa
Manusia tidak dapat didikte oleh faktor-faktor non-spiritual seperti instink, kondisi spesifik, atau lingkungan
2. Kebebasan. Adanya suatu keadaan dimana manusia tidak didikte oleh faktor – faktor non spiritual, insting, warisan kita yang khusus atau kondisi lingkungan.
Kebebasan tidak dibatasi oleh hal-hal yang bersifat non spiritual, oleh insting-insting biologis, apalagi oleh kondisi-kondisi lingkungan. Manusia dianugerahi kebebasan oleh penciptanya, dan dengan kebebasan tersebut ia diharuskan untuk memilih bagaimana hidup dan bertingkah laku yang sehat secara psikologis.
Individu yang tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan kebebasan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, adalah individu yang mengalami hambatan psikologis atau neurotis. Individu yang neurotik akan menghambat pertumbuhan sekaligus pemenuhan potensi- potensi yang mereka miliki, sehingga akan mengganggu perkembangan sebagai individu secara penuh.
3. Tanggung jawab. Tidak cukup merasa bebas untuk memilih namun manusia juga harus menerima tanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Logotherapy mengingatkan manusia terhadap tanggung jawab dengan kalimat berikut, “Hiduplah seolah – olah anda hidup untuk kedua kalinya, dan bertindak salah untuk pertama kalinya kira – kira demikian anda bertindak sekarang.”
Dalam pergulatan mencari jawaban atas eksistensinya, manusia dihadapkan pada paradoks-paradoks, yang mencakup beberapa aspek: fisik vs nonfisik; kesadaran vs ketidaksadaran; orientasi diri vs sesama manusia.
· Fisik vs Spiritual
Secara lahiriah manusia terdiri dari aspek fisik (biologis). Konsekuensi dari aspek biologis ini manusia terikat dengan hukum fisik seperti lapar, sakit, mencari kepuasan biologis, tertarik pada dunia materi, dan sebagainya. Di sisi lain, manusia juga terdiri atas aspek-aspek nonfisik, yaitu psikis, sosial, dan spiritual. Aspek biologis dan aspek spiritual kita ketahui sebagai dua kutub yang berlawanan. Sehubungan dengan kecenderungan manusia untuk mencari kepuasan biologis atau dunia materi, Viktor Frankl, psikolog dari akhir abad XIX yang ikut mengembangkan psikoterapi, menyatakan bahwa semakin seseorang memaksa mendorong dirinya ke arah kesenangan, ia akan semakin kurang mampu menikmati kesenangan. Kendati terdapat kecenderungan mencari kesenangan, di sisi lain usaha untuk itu justru akan menghalangi seseorang mencapai kepuasan (kebahagiaan).
Salah satu teknik yang relevan untuk mengatasi kecenderungan orang mencari kesenangan biologis atau dunia materi, menurut logoterapi (terapi yang berorientasi pada penemuan makna hidup, dikembangkan oleh Frankl) adalah bimbingan rohani. Bimbingan rohani diterapkan sebagai teknik terapi karena sesuai dengan pemikiran dasar Frankl tentang spiritualitas. Spiritualitas merupakan sisi transendensi pada manusia, yang mengatasi dunia fisik dan sosial, berfungsi memberikan makna hidup. Dengan mengembangkan spiritualitas (merealisasi nilai-nilai kehidupan berdasarkan suara hati), seseorang akan menemukan makna dari keberadaan (eksistensi) dirinya sebagai pribadi.
Ini merupakan sumber rasa tentram. Spiritualitas yang terintegrasi dalam kepribadian seseorang akan sanggup memerdekakannya dari dorongan aspek fisik, psikis, maupun sosial yang seringkali bersifat menjebak. Yang dimaksud Frankl dengan “spiritualitas yang terintegrasi dalam kepribadian seseorang akan sanggup memerdekakannya dari dorongan aspek fisik, psikis, maupun sosial”, bukan berarti bahwa aspek fisik, psikis, dan sosial manusia diabaikan. Kata”terintegrasi” menunjukkan ada penyatuan dari beberapa aspek itu, dan membentuk keseimbangan pribadi secara total.
· Kesadaran vs Ketidaksadaran
Manusia memiliki dimensi kesadaran dan ketidaksadaran. Tiap-tiap orang memiliki bagian kepribadian yang tidak disadari (personal unconscious), yang berkembang di luar pengalaman sadar karena telah ditekan: dorongan-dorongan amoral, dorongan-dorongan seksual yang tidak dapat diterima, kebutuhan-kebutuhan egoistik, ketakutan, harapan-harapan irasional, pengalaman yang memalukan, dan motif-motif keji.
Bagian kepribadian yang tidak disadari (karena ditekan) itu dalam kenyataan selalu mendesak untuk dipuaskan. Namun, dalam alam sadar, pemuasan terhadap dorongan bawah sadar tersebut tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma masyarakat. Orang yang sehat secara psikologis, sedikit demi sedikit telah berhasil menggali bagian kepribadiannya yang tidak disadari, dan mengintegrasikan sisi gelap (shadow) dengan bagian kepribadian yang disadari. Dengan jalan ini, seluruh komponen kepribadiannya dapat bekerja sama membentuk kesadaran penuh, diri (self) yang penuh tujuan.
· Orientasi Diri vs Sesama
Sekalipun semua kebutuhan fisiologisnya terpuaskan, manusia tetap mengalami keterpisahan dari dunia sekitarnya. Rasa keterpisahan itu harus didobrak dengan menemukan ikatan-ikatan baru dengan sesama manusia, menggantikan ikatan-ikatan lama yang didorong oleh insting. Ada beberapa cara mencari dan mencapai kesatuan dengan sesama. Salah satunya lewat jalan kepatuhan kepada seseorang, kelompok, institusi, dan Allah.
Dengan menjadi bagian dari seseorang atau sesuatu yang lebih besar, lebih berkuasa darinya, manusia mengalami identitasnya dalam hubungan dengan kekuatan pribadi atau lembaga yang dipatuhinya. Cara yang lain, dengan jalan berkuasa, menjadikan orang lain bagian dari dirinya (dominasi). Namun, sungguh ironis bahwa perwujudan hasrat kepatuhan total ataupun dominasi ini tidak pernah membuahkan kepuasan. Hanya ada satu syarat yang memuaskan kebutuhan manusia untuk mempersatukan dirinya dengan dunia, dan pada saat yang sama untuk memperoleh rasa integritas dan individualitas, yaitu cinta.
Akibat kegagalan pencapaian kebermanaan hidup
Frankl (2004) menandai adanya dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan tersebut. :
Tahap awal dari sindroma ketidakbermaknaan adalah frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga dengan kehampaan eksistensial (exsistetial vacuum) yaitu fenomena umum yang berkaitan degan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna (Koesworo,1992). Frustasi eksistensial sejauh tidak disertai simptom-simptom klinis tertentu, bukanlah suatu penyakit dalam pengertian klinis, melainkan suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dan mengatasi masalah-masalah persoalanya secara efisien (Frankl, 2004).
Suatu fenomena umum dialami manusia pada masa kini adalah tidak lagi memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa saja yang sepatutnya diperbuat. Frustasi eksistensial tidak nampak jelas namun pada umumnya ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, serta perasaan hampa (Frankl, 2004).
Tahapan kedua adalah neurosis noogenik (noogenic neuroses), yaitu suatu manifestasi khusus dari frustasi eksistensial yang ditandai dengan simptomatologi neurotik klinis tertentu yang tampak (Koesworo,1992). Frankl menggunakan istilah neurosis noogenik untuk membedakan degan keadaan neurosis somatogenik, yaitu neurosis yang berakar pada kondisi fisiologis tertentu dan neurosis psikogenik yaitu neurosis yang bersumber pada konflik-konflik psikologis.
Neurosis noogenik berkaitan dengan inti spiritual kepribadian dan bukan menurut peran serta agama, melainkan suatu dimensi eksistensi manusia, khususnya menunjuk pada konflik-konflik moral (Schults,1991). Neurosis noogenik dapat termanifestasikan dalam tampilan simptomatik yang serupa dalam gambaran simptomatik neurosis psikogenik, seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, obsesionalisme, dan tindakan kejahatan.
Crumbaugh dan Maholick menambahkan, bahwa kekurangan makna hidup mengisyaratkan kegagalan individu dalam menemukan pola-pola tujuan dan nilai yang terintegrasi dalam hidup, sehingga terjadi penimbunan energi yang membuat individu lemah dan kehilangan semangat untuk berjuang mengatasi berbagai hambatan, termasuk hambatan dalam mencapai makna (Koesworo,1992). Keinginan terhadap makna akan tetap ada dalam individu, tetapi dikarenakan individu tidak memiliki pola yang terorganisasi sebagai titik tolak pencapaian makna, maka keinginan tersebut tidak dapat terwujud. Sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut menjadikan individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan sehingga dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan seringkali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat kompensasi dan menyesatkan, seperti alkohol, obat bius, narkoba, perjudian, dan melakukan petualangan seksual.
Frankl tidak menyajikan suatu daftar dari sifat-sifat kepribadian yang sehat. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan orang-orang macam apakah mereka itu :
1. Mereka bebas memilih tindakan mereka sendiri
2. Mereka secara pribadi bertanggung jawab terhadap tingkah laku hidup mereka dan sikap yang mereka anut terhadap nasib mereka
3. Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka
4. Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka
5. Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka
6. Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, atau nilai-nilai sikap
7. Mereka telah mengatasi perhatian terhadap diri
Ada beberapa sifat lain dari kepribadian-kepribadian yang sehat, di antaranya:
1. Mereka berorientasi ke masa depan, diarahkan pada tujuan-tujuan dan tugas-tugas yang akan datang.
2. Komitmen terhadap pekerjaan. Salah satu cara untuk memperoleh arti dari kehidupan adalah dengan nilai-nilai daya cipta, memberi sesuatu kepada dunia, dan nilai ini dengan sangat baik diungkapkan melalui pekerjaan atau tugas seseorang.
3. Kemampuan memberi dan menerima cinta. Apabila kita dicintai, kita menjadi orang yang sangat diperlukan dan tidak dapat diganti. Apabila kita mencintai, kita dapat membuat orang yang dicintai sanggup merealisasikan potensi-potensi yang belum dimanfaatkan dengan menyadarkan mereka tentang potensi mereka untuk menjadi apa.
DAFTAR PUSTAKA

Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Kehidupan Bermakna. Jakarta: Rajawali Press.
Corey, G. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama
Frankl, Victor E. 2003. Logoterapi Terapi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Jogjakarta: Kreasi Wacana.
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model – model kepribadian yang sehat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ruswandi, Uus, Badrudin. 2010, pengembangan Kepribadian Guru.Bandung: CV. Insan Mandiri.
Yusuf, Samsu. 2008. Teori Kepribadian. Bandung : Rosda Karya
Abidin, Zainal. 2007. Analisis Eksistensial – Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan Psikiatri. Jakarta: Rajawali Pers
Di unduh pada tanggal 20 Oktober jam 20.00 di www.psikologimania.com
di untuh pada tanggal 15 November di http://makalahpsikologi.blogspot.com/2010/08/kepribadian - sehat - menurut abraham. Html
Saleh, Julianto.Jurnal Al Bayan Vol.7 No. 7 Januari – Juni 2003. Hirarki Kebutuhan Maslow Menurut Abraham Maslow : Aplikasi terhadap Klasifikasi Mad’u dalam Proses Dakwah.


[1]Hal 60 dalam Saleh, Julianto.Jurnal Al Bayan Vol.7 No. 7 Januari – Juni 2003. Hirarki Kebutuhan Maslow Menurut Abraham Maslow : Aplikasi terhadap Klasifikasi Mad’u dalam Proses Dakwah.
[2] Hal 61 dalam Saleh, Julianto.Jurnal Al Bayan Vol.7 No. 7 Januari – Juni 2003. Hirarki Kebutuhan Maslow Menurut Abraham Maslow : Aplikasi terhadap Klasifikasi Mad’u dalam Proses Dakwah.
[3] Hal 64 dalam Saleh, Julianto.Jurnal Al Bayan Vol.7 No. 7 Januari – Juni 2003. Hirarki Kebutuhan Maslow Menurut Abraham Maslow : Aplikasi terhadap Klasifikasi Mad’u dalam Proses Dakwah.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar