Landasan
Teori
Pengertian Psikologi Lintas Budaya
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai
persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai
budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara budaya
psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam budaya-budaya tersebut. Sedangkan
pendapat beberapa ahli, yaitu: Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya
adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus
memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Menurut Matsumoto, (2004) : Dalam
arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah
kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua
orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi
orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Sedangkan Ruang Lingkup Psikologi Lintas Budaya dalam
memahami tentang cabang ilmu psikologi lintas budaya yang dipelejari
1. Pewarisan
dan Perkembangan Budaya
2. Budaya dan
Diri (Self)
3. Persepsi
4. Kognisi
& Perkembangannya
5. Psikologi
Perkembangan
6. Bahasa
7. Emosi
8. Psikologi
Abnormal
9. Psikologi
Sosial
KOGNISI
Kognisi adalah istilah umum yang
mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indera
menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar
kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda atau obyek atas dasar
persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas, pemberian
kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek
tersebut.
Proses-proses mental dari kognisi
mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya. Ada beberapa aspek
kognisi, yaitu kategorisasi (pengelompokkan), memori (ingatan) dan pemecahan
masalah (problem solving).
Budaya dan
Memori
Memori ialah proses pengolahan informasi dalam
kognitif yang meliputi pengkodean, penyimpanan, pemanggilan kembali
informasi-informasi tersebut. Dalam hubungannya dalam penyimpanan dan
pemanggilan kembali informasi-informasi tersebut, memori dibedakan menjadi
memori jangka pendek (short term memory)
yang jangka waktu menyimpan informasi tidak lebih dari 15-25 detik dan memori
jangka panjang (long term memory)
atau memori yang menyimpan informasi relatif permanen meskipun kadang ada
kesulitan dalam memanggilnya kembali (Dayakisni, 2008).
Ross dan Millson (Matsumoto dalam Dayakisni, 2008)
melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan daya ingat pelajar Amerika dan
pelajar Ghania. Mereka menduga bahwa tradisi oral membuat orang lebih baik
dalam kemampuan daya ingatnya. Penelitian mereka ini ialah dengan membacakan
cerita dengan suara yang keras dan membandingkan bahwa pelajar Ghania secara
umum dapat mengingat isi cerita lebih baik daripada pelajar Amerika. Masih
dalam Matsumoto (1996), Cole (1971) menemukan hal lain bahwa sekalipun
masyarakat non-literate dapat mengingat isi cerita lebih baik namun kemampuan
mereka dalam mengingat daftar kata cenderung lebih lama.
Serial
Position Effect merupakan salah satu aspek memori yang
paling dikenal karena pada hipotesa ini juga menerangkan bahwa seorang individu
akan mampu mengingat lebih baik bagian pertama yang dibaca (primary effect) atau bacaan terakhir
dari daftar kata yang harus diingat (recency
effect). Meskipun demikian Wagner (dalam Matsumoto, 1996 dalam Dayakisni,
2008) menjelaskan bahwa primary effect ini
juga berhubungan dengan pendidikan. Ia membandingkan kelompok anak Moroccan
antara yang sekolah dan yang tidak pernah mendapat pendidikan. Hasilnya ialah primary effect cenderung lebih kuat pada
anak yang pernah mengenyam pendidikan.
Budaya dan Problem Solving
Proses menyelesaikan masalah atau problem solving ini merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk
menemukan urutan yang benar dari alternatif-alternatif penyelesaian suatu
masalah dengan mengarah pada satu tujuan pemecahan yang ideal. Penyelesaian
masalah ini biasanya juga sangat tergantung dari pendidikan dan
pengalaman-pengalaman yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak
sekali teori-teori psikologi yang telah mencoba menjelaskan mengenai problem solving ini, namun banyak juga
yang akhirnya meneliti mengenai pengaruh budaya dengan problem solving terhadap masalah-masalah yang tidak biasa ditemui
dalam kehidupan sehari-hari.
Cole (dalam Dayakisni, 2008) memberi kesimpulan
akhir pada penelitiannya bahwa orang Liberia menyelesaikan masalah mereka
dengan berpikir logis akan menyesuaikan dengan konteks permasalahannya. Ketika
masalah yang diberikan merupakan sebuah konsep dan mengunakan material yang
sudah mereka kenal, maka orang Liberia akan mampu berpikir logis sama baiknya
dengan orang Amerika. Ketika masalah yang akan dihadapinya tidak pernah ia
temui sebelumnya, maka mereka cenderung mengalami kesulitan mengenai
langkah-langkah awal dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam perbandingan
ini, namun tidak dapat dikatakan bahwa orang Liberia mempunyai problem solving yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang Amerika, karena mungkin saja orang Amerika juga akan
memiliki problem solving tidak sebaik orang Liberia ketika dihadapkan pada
masalah-masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.
Persamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal Sosial Cognitif
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh,
mengorganisasikan dan menggunakan pengetahuan. Dalam psikologi, kognitif adalah
referensi dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga
merupakan salah satu hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir
dan perilaku manusia bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu
yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai
konstruksi sosial. Sedangkan kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan
kreativitas manusia (cipta, rasa dan karsa) dalam rangka mempertahankan
kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu melakukan kreativitas (dalam arti
luas) untuk memenuhi kebutuhannya (biologis, sosiolois, psikologis) yang
diseimbangkan dengan tantangan, ancaman, gangguan, hambatan (AGHT) dari
lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhubungan dengan keberadaan
faktor kognisi dalam pengaruhnya terhadap lintas budaya :
A.
Intelegensi Umum
Menurut David Wechsler , inteligensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Sementara itu, Sartono Kartodirdjo (dalam Kebudayaan
Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyarakat Hindia Belanda berdasarkan
pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan
ssosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru, sesuai dengan diferensiasi
dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi dan pemerintahan. Menurut Sartono,
stratifikasi masyarakat Hindia Belanda adalah : (1) elite birokrasi yang
terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh
Praja Pribumi, (2) Priyayi Birokrasi termasuk Priyayi Ningrat, (3) Priyayi
Profesional (dibagi menjadi dua, ada priyayi gedhe dan priyayi cilik), (4)
Golongan Belanda dan Golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan
mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, dan (5)
orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung.
B.
Gaya Kognitif
Dalam (Kebudayaan Indis.2011. Soekiman, Djoko)
menyebutkan aspek kognitif berhubungan dengan tingkat perasaan, yang sangat
sulit untuk dilukiskan dan diamati. Hal ini berkaitan dengan berbagai aktivitas
dan meliputi berbagai objek karena peneliti mendapatkan struktur-struktur dasar
yang komplek sehingga peneliti perlu membatasi diri dan mempersempit garis
besar permasalahan. Hal ini lebih sulit diartikan karena justru gaya Indis
berpangkal pada dua akar kebudayaan, yaitu Belanda dan Jawa yang sangat jauh
berbeda. Untuk memahaminya perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau
fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya. Sebagai contoh,
misalnya dalam hal membnagun rumah tempat tinggal dengan susunan tata ruangnya.
Arti simbolik suatu bagian ruang rumah tinggal berhubu ngan dengan perilaku
penghuninya. Pada suku Jawa, misalnya, tidaak dikenal ruang khusus bagi
keluarga dengan pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, bahkan
diantara anggota dan bukan anggota penghuni rumah. Maka fungsi ruang tidak
dipisahkan atau dibedakan dengan jelas.
Contoh lain yang sangat menarik adalah keselarasaan
sistem simbolik, khususnya gaya hidup. Betapa canggungnya orang pribumi Jawa
yang hidup secara tradisional di kampung, kemudian pindah untuk bertempat
tinggal di dalam rumah gedung di dalam blok atau kompleks dengan suasana rumah
bergaya Barat yang modern. Kelengkapan rumah tangga yang serba asing, pembagian
ruang-ruang di dalam rumah dengan fungsi yang khusus, fungsi ruang secara
terpisah (apart) untuk terjaminny privilege atau privacy penghuninya, semua itu
menambah kecanggungan orang Pribumi untuk tinggal di dalam rumah yang asing
iyu. Anggapan bahwa rumah adalah model alam mikrokossmos menurut konsep pikiran
Jawa dan sebagainya, tidak adapada alam pikiran Eropa. Apakah rumah gaya Indis
sebagai tempat tinggal baru diinterpretasikan dengan pola konsep lama atau
tradisional Jawa? Hal ini belum jelas. Dalam menganalisis aspek kognitif gaya
Indis, kita perlu memperhitungkan konteks budaya Belanda dan Jawa. Jelas bahwa
rumah tempat tinggal orang Belanda tidak dihubungkan dengan kosmos dan tidak
mempunyai konotasi ritual seperti pandangan dan kepercayaan Jawa.
Memang, orang Eropa mengenal peletakan batu pertama
dan pemancangan bendera di atas kemuncak bangunan runmahnya yang sedang
dibangun dengan diikuti pesta minum bir, tetapi hal semacam ini adalah
peninggalan budaya lama mereka. Kegiatan itu adalah “gema” saja dari adat lama
yang sudah kabur pengertiannya. Bagi orang Jawa, menaikkan mala (tiang) sebuah
rumah tinggal dengan slametan, melekan (wungon, bedagang), meletakkan secarik
kain tolak bala, sajen, dan memilih hri baik, memiliki arti simbolik tertentu.
Bagi orang Jawa, meninggalkan adat kebiasaan seperti itu sangat berat karena
adanya paham kepercayaan terhadap kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar