Ushul Fiqih itu, adalah satu 'ilmu yang dengannya dapat ditentukan sesuatu
hukum bagi sesuatu masalah, dan kita dapat mengeluarkan masalah-masalah yang
tidak tegas bersama hukumnya, dan dengannya pula dapat didudukkan sesuatu
masalah pada tempatnya, dan lain-lain sebagainya.
Disini akan saya bawakan beberapa hal yang berhubung dengan 'ilmu USHUL FIQIH itu :
1. PENDAPAT BUKAN POKOK.
Dalam menghukum sesuatu masalah, sering terdapat orang mendasarkan hukumnya
itu atas pendapatnya semata-mata. Hendaklah diketahui bahwa “pendapat” semata-mata itu bukan Agama, sedang yang dikatakan Agama adalah Quran dan
Hadiets. Maka tidaklah
dapat semata-mata “pendapat” itu dijadikan alasan atau pokok untuk menentukan sesuatu hukum Agama. “Pendapat" boleh dipakai, sebagai “penguat” bagi yang sudah ada.
2. FIKIRAN DAN PERASAAN.
Sebagaimana semata-mata “pendapat”, maka demikian pula semata-mata “fikiran” dan semata-mata “perasaan”, tidak dapat dijadikan pokok alasan, karena
kedua-duanya ini bukan Agama.
3. MASALAH
KHILAFIYAH.
Masalah khilafiyah maksudnya : masalah yang diperselisihkan.
Sering kita mendengar orang mengatakan “ini masalah khilafiyah”, “itu masalah khilafiyah”. Dengan
kata-kata “khilafiyah” ini mereka maksudkan bahwa satu masalah, umpama ,”tahlilan" yang biasa mereka lakukan sesudah ada kematian, kalau ada
yang mengatakan bahwa perbuatan itu “bid'ah", dan ada yang berpendirian bahwa perbuatan itu satu 'amal yang
baik, maka menurut mereka kedua-dua pendapat itu boleh dipakai. Berarti “boleh” tahlilan, dan “tidak boleh” tahlilan. Berarti pula bahwa tahlilan itu mempunyai dua hukum:
(1) hukum halal dan
(2) hukum haram.
Berarti kalau dengan begitu maka Agama kita “membolehkan” dan “melarang” tahlilan.
Dua-dua pendapat itu nyata-nyata bertentangan. Tidak mungkin Agama yang
suci itu membenarkan kedua-duanya. Mesti salah satunya benar, dan yang satunya
salah.
Mudah-mudahan Agama kita yang suci bersih itu tidak segila itu memberi
hukum.
Kalau ada satu masalah yang kita perselisihkan hukumnya, bukanlah masalah
itu yang berselisih, tetapi kita manusia yang menimbulkannya. Kalau demikian
mestinya diusahakan mencari mana yang kuat dari antara dua pendapat itu. Yang
kuat itulah yang harus diterima dan dipakai.
4. IJ-TIHAAD.
Lazim terpakai dalam ish-thilah ahli ushul dengan ma'na : Mengorbankan
kemampuan yang ada pada seseorang untuk mengetahui sesuatu hukum Syara' dengan
jalan is-tin-bath.
Kalau kita perhatikan hukum-hukum Agama yang sudah ada dan Qa'idah-qa'idah
untuk menentukan hukum-hukum Agama yang didasarkan kepada Quran dan Hadits
Shahih, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu huhum bagi sesuatu
masalah dalam Agama kita, dengan tidak perlu bersusah payah sebagaimana yang
dikehendaki oleh ta'rif tersebut di atas.
Agama kita
menentukan bahwa semua macam amalan (ibadat) yang tidak ada kebenarannya dari
Allah atau Rasul, tertolak, tidak boleh dipakai.
Agama menentukan bahwa pada asalnya semua benda dan hal keduniaan. boleh
dipakai, diterima dan dikerjakan. Maka apabila ada sesuatu persoalan, tinggal kita menentukan apakah soal itu masuk bagian ibadat atau keduniaan. Kalau soal itu masuk bagian “ibadat” kita periksa: adakah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Kalau tidak ada
perintahnya, tertolaklah dia, tidak boleh dipakai, tidak boleh diamalkan. Kalau ada perintahnya. boleh kita `amalkan dia, lalu diperiksa: apakah 'amal itu mempunyai hukum “wajib" atau “sunnat".
Sebaliknya pula, kalau hal itu berkenaan dengan keduniaan, kita periksa : apakah hal itu diperintah atau dilarang. Sesudah
mendapat ketentuan “diperintah" atau “dilarang”. lalu kita periksa pula
hukumnya : wajib atau jaiz, haram atau
makruh.
Demikianlah selanjutnya.
Mungkin diantara persoalan-persoalan yang kita hadapi itu. ada yang
samar-samar atau tampaknya ada persamaan dengan hal-hal yang sudah ada dalam
Agama; maka disitulah baru ada ij-tihad seperti yang tersebut dalam ta'rief diatas. Persoalan yang sama-samar ini kiranya tidak begitu banyak, asal pandai
kita mendudukkannya.
Diantara hamba-hamba Allah. ada yang apabila sudah terdesak dalam satu-satu
masalah dan sudah tidak mempunyai alasan yang kuat lalu berkata : “Ini ij-tihad
saya, benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran” Begitu juga orang yang lebih banyak menggunakan perasaan dan fikirannya, apabila ada sesuatu hukum Agama yang ia masih
berat menerimanya. lalu menggunakan "ij-tihadnya". sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan fikirannya; kalau sudah
terdesak dan ditanyakan alasannya atas pendapatnya itu, sering mengucapkan
kata-kata seperti tersebut. Dan dengan demikian. mereka merasa bahwa mereka
dalam kebenaran.
Kepada
saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap suka menimbang
lebih jauh sehingga tidak mempermudah soal ij-tihad itu.
5. QIAAS.
Maksudnya satu perkara atau benda atau perbuatan yang tidak dinyatakan oleh
Agama hukumnya, tetapi ada persamaan sifat dan sebabnya dengan yang sudah
diterangkan oleh Agama, maka ia diberi hukum sama dengan yang sudah diterangkan
oleh Agama itu.
'Ulama-ulama yang menganggap Qias itu sebagai dasar Agama, ada membuat beberapa ketentuan dan syarath untuk
menjalankan Qias itu. Karna banyak
mengqias, maka Banyaklah timbul
hukum-hukum bagi beberapa banyak benda, perkara, perbuatan dan sebagainya yang tadinya sama sekali tidak ada dalam Agama kita
Orang yang sungguh-sungguh memperhatikan hukum-hukum Agama dan Qa'idah-qa'idah yang ada di dalamnya, kiranya tidak membutuhkan kepada
aturan dan cara-cara Qias yang membingungkan, yang diada-adakan oleh 'ulama-'ulama itu.
6. IJ-MAA'.
Maksudnya : Persetujuan 'ulama dalam sesuatu hal.
ljma' ada dua :
(1) Ijma’ dari shahabat Nabi s.a.w. dan
(2) Ijma' dari 'ulama Islam.
Ijma' dari shahabat-shahabat Nabi s.a.w., baik dalam soal ke-Agamaan atau
keduniaan, kita terima dengan kepercayaan bahwa persetujuan mereka itu ada
sandarannya dari Nabi s.a.w., sekalipun sandaran itu tidak sampai kepada kita.
Ijma' dari 'ulama pula dapat dibagi dua :
(1) ada ijma' mereka yang berdasar Quran atau Hadiets Shahih, dan
(2) ada yang berdasarkan atas pertimbangan, pendapat atau faham mereka.
Ijma ulama yang didasarkan atas Quran dan Hadiets itu, sebenarnya tidak perlu diperbincangkan, karena kalau
memang benar dari Quran dan Hadiets, sudah menjadi kewajiban kita untuk
menerimanya.
Tetapi kalau ljma' itu didasarkan kepada pertimbangan, pendapat atau faham
semata-mata, maka itu semua belum tentu
benar. Kalau demikian, maka kita tidak berkewajiban menerimanya, terutama
pula kalau persoalan yang mereka Ijma' kan itu, masalah-masalah “ibadat”.
Karena itu, ijma' dari 'ulama tidaklah menjadi dasar bagi Agama kita.
Kalau ada yang berkata, bahwa kita wajib menurut ijma' 'ulama demi untuk
menjaga atau mendapatkan persatuan ummat, maka orang lain berhak bertanya :
“Apakah kita wajib juga menurut ijma' 'ulama walaupun ijma' itu salah?”
Apakah kita harus berbuat salah, karena akan memelihara persatuan? Apakah kita harus membiarkan kesalahan itu
terus berjalan untuk menjaga persatuan ? ? ?
Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari pendirian dan fikiran yang berbahaya
ini.
7. JAMA', TARJIEH.
TAWAQQUF.
Jama' maksudnya :
mengumpulkan dua atau beberapa keterangan Agama yang tampaknya bertengangan,
lalu didudukkan masing-masing pada tempatnya, sehingga keterangan-keterangan
itu semua dapat dipakai.
Tarjieh maksudnya :
memilih dari antara dua atau beberapa keterangan Agama yang sudah tidak mampu
kita menjama'nya mana dari antara keterangan-keterangan itu yang terkuat. Yang terkuat itulah yang kila
pakai sebagai alasan.
Tawaqquf maksudnya:
tidak dipakai dua atau beberapa keterangan Agama yang tidak dapat dijama dan
ditarjiehkan. Diantara keterangan-keterangan Agama kalau ada yang kita anggap
berlawanan. pertama sekali kita lakukan cara menjama'. Kalau tarjieh inipun
tidak dapat, maka hendaklah kita Tawaqquf, yaitu kita biarkan keterangan
itu, yakni semuanya itu tidak dipakai.
Orang yang teliti memeriksa keterangan-keterangaa Agama, akan mengetahui
bahwa Tarjieh dan Tawaqquf itu, hanya terdapat pada beberapa Hadits saja, tidak banyak.
Jalan Jama' itu, terdapat pada ayat-ayat Quran dan juga Hadits-hadits.
Jalan Tarjih itu hanya ada pada Hadiets saja; ayat-ayat Quran
sama sekali tidak ada yang perlu ditarjih, karena ayat-ayat
Quran semua sama kuatnya. Tawaqqut itu hanya ada pada Hadiets ; tidak mungkin
ada pada ayat-ayat Quran.
Menjama' keterangan-keterangan Agama itu, hendaklah kita lakukan dengan
dasar-dasar keterangan lain. Janganlah “fikiran” atau “perasaan” kita jadikan dasar.
Keterangan harus kita kembalikan kepada keterangan pula. Dalam hal ini,
kita tidak dapat terlepas dari fikiran, tetapi fikiran ini hanya merupakan
pembantu.
8. CARA MENGAMBIL HUKUM.
Untuk menentukan hukum bagi sesuatu masalah: apakah wajib, sunnat, haram,
makruh atau mubah, sedikit-banyak
perlu dipelajari 'ILMU USHUL FIQH. Sebagai contoh :
a. kita dapat satu Hadiets yang berbunyi :
Artinya : Nahi s.a w.. bersabda : Berwudlu'lah sesudah (makan) sesuatu yang
disentuh oleh api (= daging).
b. Kalau Hadits itu akan kita jadikan pembicaraan, hendaklah lebih dahulu kita
periksa siapa yang meriwayatkanya. Kita dapati bahwa Hadiets itu diriwayatkan
oleh Muslim (1 : 134). Juga ada diriwayatkan oleh ahli Hadits yang lain,
seperti Imam Ahmad dan Nasa-i.
c. Sesudah itu, kita periksa pula : shahkah Hadits itu atau tidak? Terdapat
bahwa Hadiets itu shah, terutama pula dia diriwayatkan oleh Imam Muslim.
d. Lalu baru kita perbincangkan tentang „hukum" yang ada dalam Hadiets
itu. Dalam Hadits itu ada „perintah" berwudlu'. Tiap-tiap perintah Agama
pada asalnya „wajib". Menurut ketentuan ini, maka w a j i b berwudlu' sesudah makan daging.
e. Sesudah itu kita mencari keterangan lain. Terdapat ada riwayat begini :
Artinya : Dan Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi s.a.w. pernah
makan yang ada pada tulang atau daging, kemudian Nabi s.a.w. shalat dengan t i
d a k berwudlu', atau tidak menyentuh air.
(Shahieh riwayat Muslira 1 : 134)
Di atas tadi diperintah “berwudlu',
tetapi dalam hadiets ini, dikatakan bahwa “Nabi s.a.w. tidak berwudlu'. Ini menunjukkan bahwa berwudlu' sesudah makan daging itu TIDAK WAJIB. Kalau “tidak wajib” berarti “sunnat” berwudlu. Maka hadiets ini sebagai satu keterangan
yang merubah hukum “wajib” tersebut dipermulaan, menjadi hukum “sunnat”.
f. Kita lanjutkan pemeriksaan. Melihat
Hadiets riwayat Ibnu 'Abbas yang menyatakan bahwa „Nabi s.a.w. tidak Berwudlu' “sesudah makan daging" itu, dapatlah kita mengambil ketentuan bahwa “makan daging" itu, tidak membatalkan wudlu'. Berdasar kepada ini, maka dalam soal makan daging
itu, tidak perlu ada pembicaraan “wudlu" seperti yang kita ketahui.
Maka perintah “berwudlu'lah"
dalam Hadits pertama itu, bukanlah dengan arti wudlu' yang sudah ma'lum, yaitu
cuci muka, cuci tangan, cuci kaki dan usap kepala, tetapi dengan arti “cucilah" atau “basuhlah",
yakni “basuhlah" kedua tangan dan mulut kamu “sesudah makan daging".
Kita memakai arti "basuhlah" menurut bahasa itu, lebih kena
daripada memakai arti
"wudlu" menurut yang terpakai dalam Syara'.
9. QA'IDAH-QA'IDAH
FIQIH.
Untuk menentukan kedudukan dan hukum bagi sesuatu masalah secara 'umum,
selain dari 'ilmu Ushul Fiqih, perlu juga kita mengetahui beberapa Qa'idah yang
disebut QA'IDAH-QA'IDAH FIQHIYAH.
'Ulama mengadakan Qa'idah-qa'idah Fiqhiyah ini, sebagian besarnya
didasarkan kepada keterangan-keterangan Agama dari ayat-ayat Quran dan
Hadtets-hadiets Nabi s.a.w.
Diantara Qa'idah qa'idah itu, umpamanya yang berbunyi :
a. Hukum asal pada tiap-tiap benda, adalah halal.
b. Hukum asal pada tiap-tiap 'ibadat, adalah haram dilakukan.
c. Hal yang boleh jadi begini, boleh jadi begitu, tidak dapat dipakai
sebagai alasan.
d. Orang yang menetapkan sesuatu yang pada asalnya tidak ada, dituntut
dalilnya.
e. Sesuatu yang sudah yakin, tidak boleh
dikalahkan dengan ragu-ragu.
10. SHIFAT DARURAT.
Dalam Agama kita, ada dikatakan, bahwa barang siapa “darurat" berbuat sesuatu yang asalnya haram, maka tidaklah berdosa
kalau ia mengerjakannya.
Orang sering mempermudah pengertian "darurat" itu. Kalau ditanya
"Mengapa saudara mengerjakan itu", sering kita mendapat jawaban
"Saya terpaksa" (= darurat) berbuat demikian", padahal setelah diketahui ternyata bahwa soalnya
itu, hanya soal "malu" saja. Kalau ada orang Islam mengerjakan
sesuatu pelanggaran Agama, lalu kita bertanya : "Mengapa saudara berbuat
demikian?" jawabnya: "Saya terpaksa berbuat demikian", padahal
dasarnya karena ketakutan yang terbayang dalam fikirannya. Dan lain-lain lagi.
Seolah-olah hal "darurat" atau "terpaksa" itu menurut
ukuran dan kehendak masing-masing.
Hendaklah diketahui bahwa kata-kata "terpaksa" itu salinan dari
kata-kata "udl-thur-ra" yang ada dalam Quran.
"Udl-thurra" itu, ashal dari kata-kata "dla-rar".
Di antara arti-artinya, adalah : berlindung, berpegang kepada sesuatu,
menyandarkan diri kepada sesuatu. Dalam bahasa Indoneaia kata-kata „dlarra" itu mempunyai arti : “membahayakan”, “menyusahkan” dan sebagainya.
Maka soal "malu", "segan", "takut"
(bayangan), "khawatir ejekan", "khawathir diboikot",
"khawathir diasingkan". "khawathir dipenjara" dan
sebagainya itu, bukanlah dlarrar yang ditujukan oleh Agama, karena hal-hal
tersebut, bukan hal-hal yang
sebenarnya membahayakan kita.
Karena itu, janganlah hendaknya kita permudah soal "darurat"
itu.
11. DALIL SESUDAH BER'AMAL.
Banyak terdapat 'ulama atau orang yang mengerjakan sesuatu
"amal" atau "'ibadat" yang mereka dasarkan kepada
pendapatnya yang dianggapnya benar. Setelah ada yang bertanya atau menegurnya, baru mereka mencarikan keterangan. Kalau tidak dapat, dicari-carinya
dari beberapa keterangan Agama yang lain, lalu dicocok-cocokkan dengan paksa,
sehingga seolah-olah ada alasannya dari Agama.
Umpamanya : Dengan dasar Hadits Iemah, orang melakukan "talqien",
yaitu mengajar orang yang sudah mati menjawab pertanyaan malaikat dalam qubur.
Perbuatan itu berlaku dari masa kemasa sampai sekarang. Terkadang mereka tidak
hiraukan teguran atau orang yang menunjukkan kepada mereka bahwa
perbuatan itu "tidak benar", "salah" atau
"bid'ah".
Kemudian setelah betul-betul terdesak, maka karena hendak mempertahankan
perbuatan itu, dan boleh jadi juga karena hendak menjaga pengaruhnya kepada
ummat, maka dengan tenaga dan kepandaian yang ada pada mereka, mereka
cari-carilah alasannya, sedapat-dapatnya, sekalipun bukan pada tempatnya.
Diantara alasan-alasan yang mereka kemukakan, adalah :
a.
Bahwa orang
yang sudah mati itu, mendengar dalam qubur, maksud mereka, karena maiyit
mendengar, maka ia dapat menerima pelajaran. Padahal maksud ayat Quran yang mereka bawakan itu, bahwa orang yang sudah mati itu, tidak
dapat menerima pelajaran.
b.
Ada beberapa
hadiets yang berhubung dengan membacakan surah Yasien atas orang mati, mereka
masukkan dalam bagian fa-dla-i-lul-a'-maal, lalu mereka membolehkan
"talqien" itu. Padahal Hadiets-hadiets itu semua lemah dan mereka pun
mengakui kelemahannva itu.
c.
Mereka
beralasan dengan pendapat 'ulama yang berkata : "Aku lebih suka kepada
Hadits lemah daripada fikiran manusia". Karena itu, mereka pakai
Hadiets-hadiets yang lemah.
d.
Mereka
melakukan "talqien" dengan alasan untung-untungan kalau-kalau
diterima oleh Allah s.w.t.
e.
Dan lain-lain
lagi.
Alasan-alasan yang mereka bawakan itu, tidak ada satupun yang kena. Dari
cara-cara demikian itu, timbulah kerusakan dalam Agama, timbul bid'ah-bid'ah,
sehingga Agama yang bersih-murni
diselubungi dengan kotor-kotor. Mudah-mudahan Allah memelihara Agama-Nya dari
kotor-kotor yang diada-adakan oleh manusia.
Seharusnya, orang yang inshaf dan sadar, sebelum mengerjakan sesuatu 'amal, lebih dahulu mencari dalilnya. Kalau belum
dapat, janganlah ia kerjakannya.
12. "MAH-SHUR"
DAN YANG BUKAN MAH-SHUR".
Diantara ayat-ayat Quran dan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w., ada yang memakai
lafazh "in-na-maa" atau "an-na-maa". Susunan yang memakai
lafazh tersebut, dikatakan "mah-shur", artinya :
"terbatas", yakni : isi atau ketentuan yang ada dalam susunan itu,
terbatas menurut apa yang ada disitu, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Begitu juga susunan yang diawalnya ada kata-kata : maa, laa, lam, laisa, lalu
ditengah-tengahnya ada kata-kata "il-laa”. Susunan yang ada "maa"
dan "illaa" itu, disebut "mus-tats-naa", tetapi termasuk
dalam bagian "mah-shur".
Sebagai contoh. Nabi sa.w. bersabda :
Artinya : H a n y a aku diperintah berwudlu',
apabila aku hendak mengerjakan shalat. (H.S.R.
Nasa-ie)
Jadl “wudlu" itu hanya untuk shalat, tidak untuk
yang lainnya.
Maka “yang bukan mah-shur" itu, ialah yang tidak
memakai kata-kata tersebut diatas atau yang seumpamanya.
Susunan yang tidak mah-shur itu, boleh menerima tambahan atau pengecualian.
Umpamanya : Firman Allah s.w.t.
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka hendaklah kamu dera tiap-tiap seorang dari mereka, seratus
deraan.
(An-Nur 2)
Ayat ini tidak mah-shur. Karena itu, ia boleh menerima tambahan. Dalam
Hadiets ada tambahan “rejam"
bagi orang yang berzina yang sudah kawin.
13. LAFAZ-LAFAZ
ISH-THl-LAH.
Dalam Agama kita, terdapat beberapa perkataan yang ada kalanya terpakai
menurut arti bahasa, dan sering terpakai menurut arti ish-thi-lah Agama.
Umpamanya : lafazh-lafazh: najis, bidah, taqlid, haram, wudlu. shalat dan
lain-lain lagi yang terkadang menimbulkan kekeliruan pengertian. sehingga
terjadi perlainan pendapat.
Tetapi kalau kita pandai menempatkan kata-kata tersebut : dimana harus
dipakai dengan arti bahasa dan dimana harus dengan arti ish-thi-lah, insya'
.AIIah akan terjadi persesuaian faham antara kita.
Umpamanya :
A. Nabi s.a.w. bersabda : "TIAP-TIAP BID'AH ITU SESAT" (Riwayat
Muslim). -- Kata-kata “bidah" dalam Hadiets ini, kalau kita pakai dengan
arti bahasa, yaitu dengan arti
“sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dizaman Nabi s.a.w.", maka
memakai sepeda, memakai motor, kereta api, radio ......... itu semua sesat (= berdosa), karena barang-barang
itu tidak ada dizaman Rasulullah s.a.w. Tak usahlah kita sampai begitu gila
mengartikan sabda Nabi s.a.w. tersebut. Nabi tahu bahwa dunia ini akan berubah. Nabi mengerti akan kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu, tidak
mungkin kata-kata “bid'ah” itu ditujukan
kepada benda-benda tersebut. Mesti ditujukan kepada tugas pokok yanq diperintah
Nabi s.a.w. menyampaikan kepada ummatnya. yaitu: soal-soal Agama.
Jadi “bid'ah" itu, ialah yang berhubung dengan perbuatan yang
menyerupai Agama yang tidak ada pada masa Nabi s.a.w. dan tidak pernah
dibenarkan oleh Nabi s.a.w., serta tidak dapat dimasukkan dalam salah satu hal
atau perbuatan yang dibenarkan oleh Nabi s.a.w.
Maka disini kita gunakan arti Ish-thi-lah, bukan arti menurut bahasa.
Demikianlah dengan perkataan-perkataan yang lain.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar