Minggu, 28 April 2013

IJ-TIHAAD - Ushul Fiqh 4

4. IJ-TIHAAD.
Lazim terpakai dalam ish-thilah ahli ushul dengan ma'na : Mengorbankan kemampuan yang ada pada seseorang untuk mengetahui sesuatu hukum Syara' dengan jalan is-tin-bath.
Kalau kita perhatikan hukum-hukum Agama yang sudah ada dan Qa'idah-qa'idah untuk menentukan hukum-hukum Agama yang didasarkan kepada Quran dan Hadits Shahih, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu huhum bagi sesuatu masalah dalam Agama kita, dengan tidak perlu bersusah payah sebagaimana yang dikehendaki oleh ta'rif tersebut di atas.
Agama kita menentukan bahwa semua macam amalan (ibadat) yang tidak ada kebenarannya dari Allah atau Rasul, tertolak, tidak boleh dipakai.
Agama menentukan bahwa pada asalnya semua benda dan hal keduniaan. boleh dipakai, diterima dan dikerjakan. Maka apabila ada sesuatu persoalan, tinggal kita menentu­kan apakah soal itu masuk bagian ibadat atau keduniaan. Kalau soal itu masuk bagian ibadat kita periksa: adakah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Kalau tidak ada perintahnya, tertolaklah dia, tidak boleh dipakai, tidak boleh diamalkan. Kalau ada perintahnya. boleh kita `amalkan dia, lalu diperiksa: apakah 'amal itu mempunyai hukum wajib" atau sunnat".
Sebaliknya pula, kalau hal itu berkenaan dengan keduniaan, kita periksa : apakah hal itu diperintah atau dilarang. Sesudah mendapat ketentuan “diperintah" atau “dilarang”. lalu kita periksa pula hukumnya : wajib atau jaiz, haram atau makruh.
Demikianlah selanjutnya.
Mungkin diantara persoalan-persoalan yang kita hadapi itu. ada yang samar-samar atau tampaknya ada persamaan dengan hal-hal yang sudah ada dalam Agama; maka disitulah baru ada ij-tihad seperti yang tersebut dalam ta'rief diatas. Persoalan yang sama-samar ini kiranya tidak begitu banyak, asal pandai kita mendudukkannya.
Diantara hamba-hamba Allah. ada yang apabila sudah terdesak dalam satu-satu masalah dan sudah tidak mempunyai alasan yang kuat lalu berkata : “Ini ij-tihad saya, benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran Begitu juga orang yang lebih banyak menggunakan perasaan dan fikirannya, apabila ada sesuatu hukum Agama yang ia masih berat menerimanya. lalu menggunakan "ij-tihadnya". sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan fikirannya; kalau sudah terdesak dan ditanyakan alasannya atas pendapatnya itu, sering mengucapkan kata-kata seperti tersebut. Dan dengan demikian. mereka merasa bahwa mereka dalam kebenaran.
Kepada saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap suka menimbang lebih jauh sehingga tidak mempermudah soal ij-tihad itu.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar