4. IJ-TIHAAD.
Lazim terpakai dalam ish-thilah ahli ushul dengan ma'na : Mengorbankan
kemampuan yang ada pada seseorang untuk mengetahui sesuatu hukum Syara' dengan
jalan is-tin-bath.
Kalau kita perhatikan hukum-hukum Agama yang sudah ada dan Qa'idah-qa'idah
untuk menentukan hukum-hukum Agama yang didasarkan kepada Quran dan Hadits
Shahih, kiranya cukuplah sudah untuk menentukan sesuatu huhum bagi sesuatu
masalah dalam Agama kita, dengan tidak perlu bersusah payah sebagaimana yang
dikehendaki oleh ta'rif tersebut di atas.
Agama kita
menentukan bahwa semua macam amalan (ibadat) yang tidak ada kebenarannya dari
Allah atau Rasul, tertolak, tidak boleh dipakai.
Agama menentukan bahwa pada asalnya semua benda dan hal keduniaan. boleh
dipakai, diterima dan dikerjakan. Maka apabila ada sesuatu persoalan, tinggal kita menentukan apakah soal itu masuk bagian ibadat atau keduniaan. Kalau soal itu masuk bagian “ibadat” kita periksa: adakah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya atau tidak. Kalau tidak ada
perintahnya, tertolaklah dia, tidak boleh dipakai, tidak boleh diamalkan. Kalau ada perintahnya. boleh kita `amalkan dia, lalu diperiksa: apakah 'amal itu mempunyai hukum “wajib" atau “sunnat".
Sebaliknya pula, kalau hal itu berkenaan dengan keduniaan, kita periksa : apakah hal itu diperintah atau dilarang. Sesudah
mendapat ketentuan “diperintah" atau “dilarang”. lalu kita periksa pula
hukumnya : wajib atau jaiz, haram atau
makruh.
Demikianlah selanjutnya.
Mungkin diantara persoalan-persoalan yang kita hadapi itu. ada yang
samar-samar atau tampaknya ada persamaan dengan hal-hal yang sudah ada dalam
Agama; maka disitulah baru ada ij-tihad seperti yang tersebut dalam ta'rief diatas. Persoalan yang sama-samar ini kiranya tidak begitu banyak, asal pandai
kita mendudukkannya.
Diantara hamba-hamba Allah. ada yang apabila sudah terdesak dalam satu-satu
masalah dan sudah tidak mempunyai alasan yang kuat lalu berkata : “Ini ij-tihad
saya, benar atau salah tetap saya mendapat ganjaran” Begitu juga orang yang lebih banyak menggunakan perasaan dan fikirannya, apabila ada sesuatu hukum Agama yang ia masih
berat menerimanya. lalu menggunakan "ij-tihadnya". sehingga sesuai dengan kemauannya, perasaan dan fikirannya; kalau sudah
terdesak dan ditanyakan alasannya atas pendapatnya itu, sering mengucapkan
kata-kata seperti tersebut. Dan dengan demikian. mereka merasa bahwa mereka
dalam kebenaran.
Kepada
saudara-saudara yang berpendirian seperti tersebut, saya harap suka menimbang
lebih jauh sehingga tidak mempermudah soal ij-tihad itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar