Apa MLM itu?
MLM (Multi Level Marketing) adalah salah satu di antara 2 tipe dasar Direct Selling. Direct Selling adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Mitra Usaha (istilah lainnya distributor, member, pengusaha mandiri, dealer, independent business owner, mitra kerja, mitra salur) dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan, bonus-bonus lain dan iuran keanggotaan.
Dilihat dari level pemasaran, Direct Selling terbagi kepada dua jenis:
Pertama, disebut Single Level Marketing/SLM (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana Mitra Usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri.
Kedua, disebut Multi Level Marketing/MLM (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya.
Secara teknis operasional, direct selling dilakukan dengan menggunakan 2 model, yaitu, One on One dan party Plan.
One on One. Dalam model ini seorang penjual, yang merupakan agen/anggota/kontraktor yang mandiri atau lepas, menarik konsumen yang berpotensi di area khusus berdasarkan pendekatan orang ke orang. Mereka menawarkan produk, serta mendapat komisi atau basis lain. Pendapatan mereka dapat juga diperoleh dari selisih harga pembelian ke supllier dan penjualan ke konsumen.
Party Plan. Pada model ini seorang penjual, karyawan lepas atau tetap, bertugas mencari atau menjadi tuan rumah yang mengundang sekelompok orang di rumahnya dalam rangka sales party untuk mendemonstrasikan produk. Penghasilan si penjual juga atas dasar selisih harga eceran. Si tuan rumah biasanya diberikan hadiah sebagai tanda terima kasih sesuai dengan nilai penjualan tertentu.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa MLM adalah sistem/cara penjualan/pemasaran langsung suatu produk, baik berupa barang atau jasa kepada konsumen (pembeli, pengguna). Dalam perkataan lain, penjualan itu tidak lewat distributor utama – sub–distributor/agen – toko, tapi langsung kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi (penyaluran, pengiriman) barang sangat minim. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh anggota/distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan). Jadi, inti dari sistem MLM bukan semata-mata hendak memperbanyak anggota melainkan hendak menjual produk (barang atau jasa), dengan biaya yang sangat murah dan laba melimpah.
Di samping itu sejak akhir 1990-an berkembang pula di Indonesia perusahaan “MLM jenis lain”, yaitu dalam bisnisnya melakukan penarikan dana dari masyarakat melalui perekrutan anggota seperti yang dilakukan dalam bisnis MLM, namun tanpa produk (barang atau jasa) atau dengan produk sebagai “kedok”. Bisnis ini lebih mengarah pada money game (permainan uang) dengan sistem pemasaran ber Skema Piramida.
Skema Piramida adalah sistem dimana banyak orang yang berada pada lapisan terbawah dari piramida membayar sejumlah uang kepada sejumlah orang yang berada di lapisan piramida teratas. Setiap anggota baru membeli peluang untuk naik ke lapisan teratas dan mendapat keuntungan dari orang lain yang bergabung kemudian. Sebagai contoh, untuk menjadi anggota Anda mungkin harus membayar mulai dari jumlah yang kecil hingga jutaan rupiah. Dalam contoh ini, Anda harus membayar Rp. 10 juta, untuk membeli sebuah tempat pada piramida di lapisan paling bawah. Uang Anda senilai Rp. 5.000.000 akan pindah ke orang lain yang posisinya tepat di atas Anda dan Rp 5.000.000 lainnya beralih ke puncak piramida, atau ke promotor. Bilamana semua posisi yang tersedia dalam skema tersebut telah dipenuhi peserta, promotor akan memperoleh Rp 160 juta, sedangkan Anda dan teman-teman lain yang sama-sama berada di lapisan paling bawah akan kehilangan Rp 10 juta per orang. Apabila promotor telah terbayar, maka posisinya dihilangkan dan yang berada di lapisan kedua akan naik ke puncak. Setelah itu, barulah kedua orang yang tadinya berada pada lapisan kedua akan menikmati keuntungan. Untuk membayar kedua orang ini, lapisan terbawah ditambah 32 posisi baru, dan pencarian peserta baru terus berlanjut. Setiap kali sebuah lapisan naik ke puncak, sebuah lapisan baru harus ditambahkan pada alas piramida, masing-masing 2 kali lebih banyak dari sebelumnya. Apabila jumlah peserta baru mencukupi, maka Anda dan 15 peserta lain yang berada pada lapisan yang sama mungkin dapat mencapai puncak.
Status Hukum Sistem MLM
Bisnis, baik perdagangan maupun jasa termasuk dalam kategori mu’amalah yang hukum asalnya mubah (boleh atau halal) selama memenuhi rukun & syarat yang telah ditetapkan oleh syariat.
Yang dimaksud rukun adalah
Setelah melakukan analisa terhadap sistem MLM yang umum digunakan oleh berbagai perusahaan, kami memandang bahwa pada sistem itu terdapat beberapa “komponen” yang perlu disempurnakan dilihat dari aspek rukun & syarat sebagaimana diterangkan di atas. Kesimpulan ini ditetapkan setelah dilakukan analisa terhadap sistem secara utuh (satu kesatuan), tidak parsial (satu persatu sub sistem), sebagai berikut:
Akad (skim transaksi) Yang Dipergunakan
Karena berbeda dengan sistem konvensional, bisnis bersistem MLM sejatinya lebih “irit” dalam melibatkan pihak lain, namun secara real bisnis dengan sistem ini tetap saja melibatkan banyak pihak, sehingga “memicu” digunakannya multi akad.
Berdasarkan penelitian kami diperoleh hasil bahwa bentuk-bentuk akad yang terjadi dalam operasionalisasi direct selling MLM adalah sebagai berikut:
Pertama, apabila perusahaan MLM itu tidak memproduksi sendiri produknya, maka ia melibatkan pihak lain sebagai produsen. Pada saat perjanjian antara produsen dan perusahaan MLM, bentuk akad yang terjadi adalah akad pemberian kuasa, yang dalam literature fiqih termasuk dalam jenis akad yang berupa pemberian kepercayaan dalam kegiatan usaha, bentuknya adalah akad al-wakalah.
Kedua, pada saat seseorang menjadi anggota perusahaan MLM, dia tidak lepas dari tiga posisi : (1) pembeli langsung sekaligus perantara (distributor) dan perantara (perekrut), (2) perantara (distributor) sekaligus perantara (perekrut), (3) perantara saja (distributor atau perekrut).
Disebut pembeli langsung sekaligus perantara dan perantara manakala sebagai member,
a. dia melakukan transaksi pembelian secara langsung (baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock).
b. di saat yang sama dia telah menjadi perantara dalam akad jual-beli antara perusahaan dengan konsumen, yakni sebagai distributor.
c. di saat yang sama pula dia menjadi perantara dalam perekrutan orang lain untuk menjadi member baru meskipun tanpa penjualan produk perusahaan tersebut.
Disebut perantara (distributor) sekaligus perantara (perekrut) manakala “memainkan” fungsi (b) dan (c) sekaligus, namun tidak melakukan fungsi (a)
Disebut perantara saja manakala hanya “memainkan” salah satu di antara fungsi (b) dan (c).
Fungsi (c) inilah yang paling banyak dikembangkan oleh berbagai perusahaan MLM. Dalam konteks akad, ketika memainkan fungsi distributor ia disebut simsar dengan akad samsarah. Namun ketika memainkan fungsi ”perekrut” ia disebut apa dengan akad apa? Dalam literatur fikih, fungsi dan akad seperti ini tidak dikenal.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat multi akad dalam satu akad, yaitu melalui akad pendaftaran, seseorang dapat ”memainkan” beberapa akad yang berbeda, antara lain akad jual-beli saat dia membeli produk dan akad samsarah (makelar) saat dia memperoleh hak bisnis. Jika multi akad ini dalam bentuk jasa disebut shafqatayn fi shafqah dan jika dalam bentuk jual-beli barang disebut bay’atayn fi bay’ah.
Dalam Islam tidak diperbolehkan terjadinya dua akad dalam satu akad/transaksi. Dasar hukumnya adalah adanya hadis yang melarang bentuk dua akad dalam satu transaksi itu.
Ketiga, dalam sistem direct selling MLM, seorang distributor dimungkinkan memperoleh kompensasi ganda dari hasil penjualan yang dilakukannya sendiri maupun dari hasil penjualan yang dilakukan downline yang direkrutnya. Dalam penjualan yang dilakukannya sendiri ia dapat kompensasi sebagai simsar. Namun dari penjualan yang dilakukan downline yang direkrutnya, ia pun memperoleh kompensasi. Kompensasi sebagai apa?
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa dalam sistem ini, seorang upline (makelar yang entah di level berapa dari sistem itu) mencari makelar lain (downline) untuk menawarkan produk perusahaan. Di sini terjadi syamsarah ala syamsarah (memakelari makelar atau maakelar atas makelar), sehingga upline menarik atau mengambil prosentase keuntungan dari downline. Praktek semacam ini dalam hukum Islam hukumnya haram.
Sistem Pendaftaran Anggota
Ketika seseorang menjadi member ia disyaratkan membayar sejumlah uang sebagai biaya pendaftaraan (ada juga yang menyebut biaya administrasi). Besaran biaya yang ditetapkan oleh satu perusahaan bisa berbeda dengan perusahaan lainnya (bahkan di satu perusahaan pun biaya itu bisa berbeda tergantung jenis keanggotaannya).
Atas pembayaran itu perusahaan ”memberi imbalan” (yang lain menyebutnya subsidi) kepada member berupa paket produk yang beragam, meskipun produk umumnya adalah Starter Kit (istilah lainnya Business Kit, distributor kit), yakni alat bantu kerja yang isinya berbeda-beda tergantung dari besaran biaya yang dibayar.
Pada sistem pendaftaran ini terdapat komponen yang harus dicermati secara jeli:
Pertama, terdapat perpindahan sejumlah produk dari perusahaan kepada member, melalui akad pendaftaran (dari pihak member) dan akad “imbalan/subsidi” (dari pihak perusahaan). Yang harus dicermati
1. Apakah paket produk ini diberikan secara cuma-cuma? Kalau diberikan secara cuma-cuma, uang pendaftaran itu dialokasikan untuk apa?
2. Ataukah dibayar oleh member dari uang pendaftaran? Kalau dibayar dari uang pendaftaran mengapa harus dengan istilah pendaftaran & imbalan/subsidi? Padahal didalamnya terdapat akad mix (campuran skim transaksi) untuk produk yang bervariasi, sehingga tidak jelas akad dan ma’qud ’alaih (harga & produk).
Karena itu, selama tidak ada kejelasan akad & ma’qud ’alaih, maka pada ”pendaftaran” ini terdapat unsur jahalah.
Selain untuk kejelasan akad & ma’qud ’alaih, hal ini penting pula untuk mengetahui sumber pembayaran berbagai bonus/komisi/subsidi dalam sistem MLM.
Kedua, pada perusahaan tertentu di dalam pendaftaran itu terdapat “penjualan” produk utama (komoditas) “secara terselubung” (melalui pendaftaran) dengan harga yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Bahkan pada perusahaan lainnya bukan hanya harga yang ditetapkan melainkan dengan jenis produknya. Sebagai contoh kasus, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan A harus membayar uang administrasi sebesar Rp. 100.000. Padahal dalam biaya ini ada alokasi dana untuk pembelian barang, misalnya Sod Tea/Teh kesehatan Rp. 70.000.
Menurut kami, pada sistem penjualan seperti ini terdapat unsur jahalah aqad (ketidakjelasan akad), yakni terjadi perpindahan sejumlah barang dari perusahaan kepada anggota, yang tidak dipesan atau dibelinya, karena ia menyerahkan uang dengan jumlah tertentu adalah untuk pendaftaran keanggotaan, bukan pembelian barang.
Ketiga, pada perusahaan tertentu penjualan ini dilakukan secara transparan melalui akad jual-beli (diterangkan saat pendaftaran), namun yang dibeli adalah poin pembelanjaan minimal, dan poin minimal ini menjadi syarat sah keanggotaan. Sebagai contoh kasus, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan B harus belanja minimal sebanyak 50 poin (= Rp. 165.000). Apabila kurang dari 50 poin, maka keanggotaan itu tidak diterima.
Menurut kami, pada sistem penjualan ini terdapat unsur:
(a) jahalah ma’qud ‘alaih (ketidakjelasan barang dan harga), yakni apakah anggota itu diharuskan membeli barang seharga tertentu atau membeli poin dengan harga tertentu.
(b) Dharar (merugikan pihak pembeli), yakni kebebasan si pembeli dalam menentukan jumlah/nilai belanja sudah dirampas oleh si penjual. Karena dalam Islam, yang berhak menentukan jumlah belanja adalah si pembeli.
Keempat, pada perusahaan tertentu nilai pembelanjaan ditentukan oleh pihak perusahaan dan barangnya ditentukan kemudian. Sebagai contoh, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan C diharuskan belanja minimal Rp. 500.000 dan produknya ditentukan kemudian.
Menurut kami, pada sistem penjualan ini pun terdapat unsur:
(a) Dharar (merugikan pihak pembeli)
(b) jahalah ma’qud ‘alaih (ketidakjelasan barang)
Sistem Perbonusan
Multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran — tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus (istilah lainnya komisi, subsidi). Sistem bonus/komisi ini merupakan ciri khas sistem MLM.
Bentuk bonus yang ditetapkan oleh berbagai perusahaan MLM bermacam-macam, namun pada umumnya jenis bonus yang diterapkan adalah bonus pembelian langsung (istilah lainnya bonus eceran, komisi keuntungan langsung, keuntungan eceran), yaitu keuntungan yang didapat seorang member dari selisih harga beli (harga distributor) dan harga jual (harga konsumen) Contoh: Produk Teh, harga untuk anggota Rp 22.000 ; harga untuk konsumen Rp 27.500. Maka anggota itu mendapat bonus sebesar Rp 5.500 (Rp 27.500 – Rp 22.000).
Selain bonus ini, berbagai bonus yang diberikan kepada anggota pada umumnya ditetapkan berdasarkan dua sistem; akumulasi poin dan pengembangan jaringan
Pertama, akumulasi poin.
Apa yang dimaksud poin dalam sistem MLM?
Menurut penelitian kami, setiap produk yang dijual melalui sistem MLM memiliki value (nilai) ganda:
(1) Nilai manfaat atau kemampuan produk yang diwujudkan dalam satuan uang yang disebut tsaman (harga). Dalam konteks jual-beli terjadi tabaduli (pertukaran) antara tsaman (harga) dengan mutsman (barang). Penjual dapat uang, pembeli dapat barang. Dalam konteks ijarah terjadi tabaduli (pertukaran) antara tsaman (harga) dengan mutsman (tenaga/intelektual). Pemberi jasa dapat uang, penyewa jasa dapat karya.
(2) Nilai fungsional untuk menghitung nilai bonus member sesuai dengan posisi/prestasi dan persyaratannya yang diwujudkan dalam satuan nominal yang disebut Point Value (PV) istilah lainnya Bonus Value (BV)
Standar nominal poin yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan MLM bervariasi. Misalnya PT. R menetapkan tiap 10 poin bernilai/seharga Rp. 26.000, sedang PT U menetapkan tiap 50 poin seharga Rp 165.000.
Adapun yang dimaksud dengan akumulasi poin adalah poin pembelanjaan member (upline) dan jaringannya (downline) dalam masa tertentu sebagai syarat untuk mendapatkan bonus bulanan atau tahunan. Contoh kasus, seorang member perusahaan C akan mendapatkan bonus bulanan apabila;
1. dapat mengumpulkan poin pembelanjaan pribadi pada bulan itu minimal 200 poin (200:10 = 20 X @ Rp. 26.000 = Rp. 520.000)
2. memiliki tiga orang anggota (down line), dengan jumlah poin pembelanjaan 900 poin atau 300 poin/member (900:10 = 90 x @ Rp. 26.000 = Rp. 2.340.000)
Dari akumulasi poin member & jaringannya itu ditetapkan prosentase tertentu sebagai bonus bulanan atau tahunan.
Karena poin ini yang menjadi standar penetapan bonus, maka secara faktual yang “dikejar” oleh member bukan lagi jumlah pembelanjaan, bukan lagi harga barang (mahal & murahnya) tetapi besarnya Point Value yang terkandung dalam barang tersebut.
Dengan adanya value ganda pada setiap produk MLM, maka terjadi unsur jahalah ma’qud ‘alaih (produk & harga) yaitu:
(1) Apakah poin itu mutsman (produk) atau tsaman (harga)?
(2) Apakah yang dibeli member itu barang seharga tertentu ataukah poin dengan harga tertentu?
Kedua, pengembangan jaringan.
Yaitu jumlah anggota baru yang direkrut dan level jaringan yang dibangun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Sebagai contoh, seorang anggota akan mendapatkan bonus Rp. 780.000/bulan, bila memenuhi ketentuan:
1. mempunyai jaringan satu level; 5 orang di sebelah kanan dan 5 orang di sebelah kiri.
2. Jumlah pembelanjaan pribadi member (upline) itu minimal mencapai 500 poin
3. Jumlah pembelanjaan member pada level itu (downline) mencapai 5000 poin (500 poin/member)
Jumlah poin pembelajaan dan jumlah member yang direkrut ini menjadi dua syarat yang tidak dapat dipisahkan untuk perolehan berbagai macam bonus di hampir semua bisnis MLM. Bahkan syarat ini terikat pula dengan ketentuan waktu tertentu yang kemudian melahirkan sistem tupo (tutup poin), yaitu jumlah poin yang harus dipenuhi oleh anggota untuk minggu, bulan, dan tahun tertentu (misalnya, satu minggu 250 poin, satu bulan 500 poin, satu tahun 6000 poin). Jumlah poin ini harus seimbang atau merata antara anggota dan jaringannya. Jika anggota (up line) saja yang melakukan tutup poin, sementara seluruh anggota (down line) pada jaringannya tidak melakukan tutup poin, maka up line itu tidak mendapatkan apa-apa (poinnya tidak dihitung/tidak bernilai), bahkan pada sebagian perusahaan poin yang sudah diperoleh pun dinyatakan hangus, dan ia harus memulai dari nol lagi. Sebagai contoh, anggota bernama Badu telah melakukan tutup poin pada bulan: Jan-Peb-(Mar tidak tercapai)-Apr-Mei-(Jun tidak tercapai)-Jul-Ags-Sep-Okt-Nop-Des, maka yang dihitung hanya untuk bulan Juli hingga Desember saja (6 bagian), sedang bulan sebelumnya dianggap hangus.
Jika kita cermati sistem perbonusan di atas, maka pada sistem ini terdapat unsur dharar (merugikan pihak lain) dan maisir (judi, gambling), yaitu poin milik anggota (upline) diambil oleh perusahaan karena kegagalan yang dialami oleh anggota (downline), yakni tidak dapat mencapai target tupo. Padahal poin itu milik anggota yang telah diperoleh setiap kali membeli produk. Disamping itu pada sistem ini terdapat jahalah akad, yakni menjadi milik siapa bonus dan poin yang dianggap hangus itu.
Kemudian pada sistem bonus tertentu seperti kendaraan, terdapat unsur ghasy (penipuan), yaitu mempergunakan istilah bonus padahal kenyataannya barang yang dimiliki itu diperoleh melalui pembelian secara kontan atau kredit dengan syarat-syarat tertentu, antara lain
a] memiliki poin pembelanjaan pribadi sesuai poin minimal
b] memiliki jaringan di bawahnya dengan jumlah poin tertentu.
Sebagai contoh, seorang anggota akan mendapatkan bonus kompetisi berupa sedan baleno apabila memenuhi syarat;
(a) memiliki poin pembelanjaan sebanyak 200 poin = Rp. 660.000 (per 50 poin = Rp. 165.000),
(b) memiliki 3 anggota di bawahnya, dengan poin 1.500/member (30 x Rp. 165.000 = 4.950.000).
Dengan demikian jumlah poin grup yang berhasil dikumpulkan sebanyak 200 + 4500 = 4700 (94 x Rp. 165.000 = 15.510.000), maka ia akan mendapatkan bonus sebesar 3 % dari jumlah poin grup = Rp. 465.300.
Jumlah poin ini harus dicapai selama 6 x berturut-turut. Apabila target ini tercapai maka ia memperoleh kesempatan untuk mendapatkan sedan baleno. Adapun cicilan itu dihitung oleh perusahaan dari keuntungan 3 % yang diperoleh anggota tiap bulan.
Berbagai Bonus Lainnya
Dalam perjalanan selanjutnya, berbagai bonus itu dikembangkan lagi (terutama oleh perusahaan berkedok MLM) dalam upaya meraup laba sebesar-besarnya dengan “menggaet” member sebanyak-banyanya melalui “pintu” pendaftaran, sebagai contoh kasus sistem perbonusan yang digunakan oleh PT. D, sebagai berikut:
1. Komisi/bonus/subsidi sponsor
Komisi ini diklaim oleh perusahaan sebagai imbalan bagi member lama (A) karena berhasil menggaet member baru (B), sebesar Rp. 20.000.
Kalau dianalisa secara cermat, hemat kami komisi ini diberikan bukan semata-mata karena bergabungnya member baru, karena perusahaan MLM bukan jaringan orang (seperti paguyuban atau ormas), tapi “jaringan bisnis” (member = income). Artinya, setiap terjadi penambahan member maka secara otomatis perusahaan mendapat income (“laba” & modal kembali), yaitu dari “penjualan” produk “secara terselubung” (melalui pendaftaran). Apabila jahalah akad & ma’qud ‘alaih ini tidak diclearkan dalam bentuk pemilahan akad, maka uang yang diterima oleh member pun diragukan kehalalannya karena tidak jelas sumbernya. Sebagai ilustrasi:
Diasumsikan bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Keterangan:
Produk 1: kartu HU (hak keagenan pulsa), content Business School, Education Pack.
Produk 2: Training & Seminar-seminar Pengembangan Diri dan program CRP.
Produk 3: asuransi kecelakan.
Dari pos mana komisi Rp. 20.000 itu diberikan? Bila dari biaya pendaftaran, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, maka komisi ini tidak jelas sumbernya.
2. Komisi/bonus/subsidi titik pengembangan
Komisi ini diberikan karena ada penambahan 1 member di jaringan member lama, tanpa harus seimbang (kaki kiri & kanan). Komisi ini sebesar Rp. 1.000/titik pengembangan.
Kalau dianalisa secara cermat, dalam sistem ini terdapat pula unsur jahalah akad, yaitu atas dasar apa diberikan? Agar lebih jelas kita bandingkan dengan sistem komisi sponsor, yaitu:
Ketika member lama (A) berhasil menggaet member baru (B), ia mendapat imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Berarti A berjasa kepada PT. D. Tapi ketika member B menggaet member baru (C), member A mendapat Rp. 1.000 (komisi titik). Apa jasa A kepada PT. D? Diklaim karena ia berjasa telah “membina” B. Bagaimana kalau ia tidak membina, dan yang aktif itu member B? Kalau alasannya karena “membina” berarti ia tidak mendapat komisi itu. Tapi faktanya tidak demikian, A tetap saja mendapatkannya. Berarti Rp. 1.000. itu tidak jelas uang apa?
Andaikata karena jasa “membina”, mengapa “harganya” demikian murah (Rp. 1000). Apa yang jadi pembeda nilai “sponsor” dengan “membina” sehingga “harganya” berbeda dengan komisi sponsor Rp. 20.000? Juga bandingkan dengan jumlah “laba” yang didapat PT. D atas jasa dia! Sebagai ilustrasi:
Berdasarkan asumsi yang digunakan di muka, dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Ketika A, lalu B, lalu C bergabung maka PT. D dapat “laba” sebesar Rp. 255.000 (Rp. 85.000 x 3 member). Atas “jasa pembinaan” A berarti PT. D memperoleh “laba” sebesar Rp. 170.000, sedangkan A mendapat Rp. 1.000. Jadi, tidak logis apabila pemberian itu atas dasar “jasa” pembinaan.
Kemudian dari pos mana komisi Rp. 1.000 itu diberikan? Apabila dari biaya pendaftaran para member, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, komisi ini diragukan kehalalannya.
3. Komisi/bonus/subsidi pasangan
Komisi ini diberikan karena terjadi pasangan di jaringan seorang member, secara seimbang (1 kanan : 1 kiri) tanpa batasan level. Tapi dibatasi maksimal 12 kanan: 12 kiri. Komisi ini misalnya berupa uang sebesar Rp. 22.500 dan deposit pulsa senilai Rp. 7.500.
Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem komisi sponsor & titik, dilihat dari 3 aspek:
(1) syarat keseimbangan/pasangan (1 kanan:1 kiri)
(2) besaran & bentuk bonus yang diterima member
(3) terdapat batasan maksimal pasangan perhari
Kalau dianalisa secara cermat, pada sistem ini pun terdapat jahalah akad, yaitu:
1. Atas dasar apa diberikan? Agar lebih jelas kita banding dengan sistem komisi sponsor, yaitu:
Ketika member lama (A) berhasil menggaet member baru (B), ia mendapat imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Lalu ia berhasil pula menggaet member baru (C), berarti ia mendapat lagi imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Karena terjadi pasangan antara B (di kanan) & C (di kiri) ia berhak mendapatkan pula imbalan (komisi pasangan) berupa uang sebesar Rp. 22.500 dan deposit pulsa senilai Rp. 7.500
Pada komisi sponsor tampak jelas bahwa komisi ini diberikan sebagai “imbalan atas keberhasilan” seorang member menggaet member baru. Sedangkan pada komisi pasangan tidak jelas atas keberhasilan apa? Kalau alasannya “prestasi dalam membuat pasangan kanan-kiri” maka alasan ini pun tidak tepat dilihat dari sisi fakta, karena pasangan itu bisa “direkayasa” secara otomatis tanpa harus “berprestasi”, yakni dengan cara membeli hak usaha minimum 3. Sebagai ilustrasi:
Ilustrasi I: A membeli 3 hak usaha (A 1, A 2, A3) Rp. 500.000 (Rp. 200.000 + Rp. 150.000 x 2) atas nama sendiri. Lalu oleh A, A 1 diposisikan sebagai upline, A 2 sebagai downline kaki kiri dan A 3 sebagai down line kaki kanan. Maka secara otomatis oleh program komputer dibuat sebagai “pasangan” A+B.
Karena terjadi pasangan A dikiri & B dikanan, maka A mendapat komisi berupa uang Rp. 22.500 dan berupa deposit pulsa Rp. 7.500. Jika demikian faktanya, apa prestasi A sehingga dia “harus” mendapatkan komisi pasangan?
Ilustrasi II: A membeli lagi 6 hak usaha Rp. 1.200.000 (Rp. 200.000 x 6) atas nama orang lain, yaitu modal dari A tapi yang didaftarkan sebagai member orang lain (B, C, D, E, F, G), baik atas persetujuannya ataupun tidak (tulis tonggong). Lalu oleh A, di bawah A 1 disimpan B+C sebagai downline, dan di bawah A 2 disimpan D+E sebagai downline. Di bawah B disimpan F dan di bawah D disimpan G.
Maka secara otomatis oleh program komputer nama-nama member itu dibuat sebagai jaringan A secara “pasangan”. Setiap kali terjadi pasangan, maka A mendapat komisi sesuai banyaknya pasangan itu terjadi. Dan jaringan ini dapat direkayasa sedemikian rupa oleh upline sesuai dengan kehendaknya tanpa batasan level, karena sistem komputer bekerja berdasarkan input data, bukan fakta prestasi. Jika demikian faktanya, apa prestasi A sehingga dia “harus” mendapatkan komisi pasangan?
2. Mengapa bentuk komisi itu tidak semuanya cash atau semuanya deposit pulsa? Mengapa depositnya hanya Rp. 7.500? Apakah pulsa itu diberikan secara gratis oleh PT. D atau sebenarnya dibeli oleh member? Untuk lebih jelasnya kita kaji dengan menggunakan asumsi yang digunakan di muka, yakni bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Ketika A membeli 3 hak usaha Rp. 600.000 (Rp. 200.000 x 3), PT. D dapat “laba” sebesar Rp. 255.000 (Rp. 85.000 x 3 HU). Andaikata komisi sponsor bersumber dari “biaya pendaftaran” maka setelah dikurangi biaya komisi sponsor Rp. 40.000 (Rp. 20.000 x 2 member) tersisa “laba” sebesar Rp. 215.000 (Rp. 255.000 – Rp. 40.000).
Andaikata komisi pasangan bersumber dari “biaya pendaftaran” dan semuanya dalam bentuk cash (Rp. 30.000) maka “laba” terambil sebesar Rp. 30.000 sehingga tersisa Rp. 180.000 (Rp. 215.000 – Rp. 30.000) dan “stock pulsa” PT. D di all operator tidak “terjual”. Namun dengan komposisi cash Rp. 22.500 & deposit pulsa Rp. 7.500, maka “laba” yang terambil lebih sedikit sebesar Rp. 22.500 sehingga sisa “laba” lebih besar Rp. 192.500 (Rp. 215.000 – Rp. 22.500). Dengan perkataan lain menghemat Rp. 7.500. Di sisi lain “stock pulsa” PT. D di all operator menjadi “terjual”. Berapa harga belinya? Kita asumsikan saja Rp. 5000. Berarti PT. D dapat “laba” pula dari “jual” pulsa sebesar Rp. 2.500.
Jadi, hemat kami dengan sistem ini (tidak semuanya cash) PT. D mendapat 2 keuntungan sekaligus: pertama, “laba” dari biaya pendaftaran tidak banyak “terambil”. Kedua, “laba” penjualan pulsa kepada member “atas nama komisi”, yakni “laba” dari selisih harga “pembelian” (asumsi Rp. 5000) dari All operator dengan harga “jual” kepada member (Rp. 7.500).
Bila demikian halnya, dalam sistem komisi ini terdapat unsur jahalah akad antara jual-beli & komisi, serta unsur ghasy (penipuan) “jual beli” terselubung atas nama komisi dalam bentuk deposit pulsa.
3. Mengapa dibatasi hanya sampai 12 pasangan setiap hari? Alasannya agar perusahaan tidak merugi. Seberapa besar kerugiannya bila pasangan itu tidak dibatasi?
Sebagai ilustrasi: A “mempunyai” member sebanyak 13 di kaki kiri dan 15 di kaki kanan. Seharusnya A mendapat komisi pasangan 13, yakni berupa uang Rp. 292.500 (13 x Rp. 22.500) dan deposit pulsa 97.500 (13 x Rp. 7.500). Dengan alasan agar tidak merugi, maka yang dihitung tetap 12 pasang.
Benarkah akan merugi jika dihitung 13 pasang? Untuk lebih jelasnya kita kaji dengan menggunakan asumsi yang digunakan di muka, yakni bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT.D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Jika total member pada jaringan A sebanyak 28 orang (13 kiri & 15 kanan), maka PT.D mendapat ”laba” sebesar Rp. 2.380.000.
Andaikata komisi sponsor, komisi titik & komisi pasangan 13 (Rp. 295.000) bersumber dari “biaya pendaftaran”, maka setelah dikurangi biaya komisi-komisi itu, apakah PT.D tidak mendapat ”laba”?
Justru dengan sistem flush out/rolling ini, PT.D mendapat 2 keuntungan sekaligus: pertama, “laba” dari biaya pendaftaran tidak banyak “terambil”, karena hanya “berkewajiban” membayar 12 pasang. Kedua, “laba” penjualan pulsa kepada member “atas nama komisi”, yakni “laba” dari selisih harga “pembelian” dari All operator (misalkan Rp. 60.000) dengan harga “jual” kepada member Rp. 90.000. Asumsi ini hanya dari jaringan seorang member saja. Bagaimana kalau dari 20 member yang masing-masing punya jaringan seperti member A?
Karena itu, semakin banyak ”pasangan” yang tercipta setelah ”pasangan 12” dan member yang menunggu pasangan di salah satu ”kaki”, maka semakin banyak pula keuntungan yang didapat oleh PT.D, karena sebanyak/sepanjang apapun ”pasangan” itu tercipta perusahaan hanya ”berkewajiban” membayar 12 pasang saja. Benarkah rugi?
Pertanyaan berikutnya: kemana ”larinya” 1 pasang (1 kiri & 1 kanan) dan 2 member kaki kanan (yang menunggu pasangan kaki kanan). Jawabannya masuk ke perusahaan. Berarti perusahaan tidak mau merugi dengan cara merugikan pihak member, yakni hilangnya hak komisi pasangan ke-13.
Bila demikian halnya, maka dalam sistem ini terdapat beberapa unsur yang bertentangan dengan syariat:
1. unsur ghasy (penipuan) atas nama ”agar tidak merugi”, padahal kenyataannya PT.D mendapat keuntungan ganda dan “jual beli” terselubung atas nama komisi dalam bentuk deposit pulsa.
2. jahalah akad, yakni antara jual-beli & jasa
3. dan dharar (merugikan pihak lain), yakni hilangnya hak member untuk mendapatkan komisi pasangan 13 & selanjutnya
4. Apabila komisi itu bersumber dari biaya pendaftaran, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, maka komisi ini diragukan kehalalannya.
4. Komisi/bonus/subsidi Duplikasi
Adapun sistem komisi duplikasi masalahnya tidak berbeda dengan komisi titik, yakni tidak jelasnya akad dan sumber komisi itu. Apabila dari biaya pendaftaran para member, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, komisi ini diragukan kehalalannya.
B. Sistem di Lapangan
Aspek ini penting untuk dicermati karena seringkali sistem yang tertulis dianggap tidak bermasalah, namun tidak demikian dengan realita atau kenyataan dilapangan. Karena tidak sedikit jaringan anggota sebuah perusahaan MLM tertentu yang membangun sistem operasional tersendiri yang berbeda bahkan menyimpang dari sistem atau kebijakan perusahaannya.
Pada umunya sistem ini dibangun karena dipicu oleh sistem tutup poin yang diberlakukan oleh perusahaan, sehingga berbagai cara ditempuh untuk mencapai target tersebut. Misalnya agar tutup poin dapat tercapai dan tidak mengalami hangus, seorang anggota membeli posisi/jenjang karir sebesar Rp. 30.000.000, sehingga secara otomatis ia mendapatkan sejumlah poin dan jaringan anggota (down line). Dengan cara seperti itu berbagai macam bonus dapat diperoleh dengan mudah tanpa harus menjual produk dan merekrut anggota.
Dalam kasus tertentu sistem keanggotaan & pengembangan jaringan yang dibuat sedemikian rupa oleh suatu perusahaan tetap ”dapat” disiasati sehingga unsur manipulasi keanggotaan dalam jaringan tetap terjadi.
Karena itu, perkembangan jaringan seorang member tidak identik dengan kerja keras dia dalam merekrut anggota baru, dan mensupport anggota baru itu untuk melakukan hal yang sama (duplikasi), karena perkembangan itu dapat dibangun berdasarkan ”pembelian titik”, sehingga kedalaman generasi yang dibangun tergantung berapa banyak uang yang dimiliki untuk membeli titik itu sesuai target penghasilan yang ingin dicapai olehnya.
Secara praktik hal itu dapat dilakukan dengan cara membeli HU sebanyak-banyaknya dengan meminjam nama orang lain (tulis tonggong), termasuk anak-anak & orang yang sudah meninggal dunia. Sebagai contoh: Untuk melipatkan gandakan penghasilan dari komisi pasangan sebesar Rp. 1.890.000/hari, seorang member tidak perlu merekrut member baru/membangun jaringan hingga tercapai 12 pasangan di kaki kiri & kaki kanan, tapi cukup mengeluarkan modal dalam jumlah tertentu untuk membeli HU sebanyak-banyak dengan nama orang lain, sehingga jaringan itu secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya, dan target penghasilan itu akan tercapai, sehingga seringkali yang terjadi perusahaan hanya menjual kartu, terserah siapa yang menggunakan, karena secara praktik aktivasi itu bisa dilakukan oleh siapa pun.
Yang perlu menjadi catatan, sistem perusahaan tidak bisa mencegah terjadinya praktik seperti ini dan atau perusahaan tidak mau tahu (yang penting income masuk ke perusahaan), padahal praktik ini bertentangan dengan aturan syariat dilihat dari segi ’aqidain (orang yang bertransaksi), yaitu tidak jelas siapa sebenarnya yang bertransaksi dengan perusahaan itu?
Setelah memperhatikan berbagai aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa
1. Pada umumnya sistem MLM yang berlaku sekarang tidak terlepas dari unsur jahalah (ketidakjelasan), dharar(merugikan pihak lain), maisir (gambling), dan gasy (penipuan), baik pada sistem yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan maupun sistem operasional yang dikembangkan oleh grup masing-masing anggota di lapangan.
2. Bisnis melalui MLM yang tidak terlepas dari unsur-unsur di atas hukumnya haram.
MLM (Multi Level Marketing) adalah salah satu di antara 2 tipe dasar Direct Selling. Direct Selling adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh Mitra Usaha (istilah lainnya distributor, member, pengusaha mandiri, dealer, independent business owner, mitra kerja, mitra salur) dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan, bonus-bonus lain dan iuran keanggotaan.
Dilihat dari level pemasaran, Direct Selling terbagi kepada dua jenis:
Pertama, disebut Single Level Marketing/SLM (Pemasaran Satu Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana Mitra Usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri.
Kedua, disebut Multi Level Marketing/MLM (Pemasaran Multi Tingkat), maksudnya adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem Penjualan Langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya.
Secara teknis operasional, direct selling dilakukan dengan menggunakan 2 model, yaitu, One on One dan party Plan.
One on One. Dalam model ini seorang penjual, yang merupakan agen/anggota/kontraktor yang mandiri atau lepas, menarik konsumen yang berpotensi di area khusus berdasarkan pendekatan orang ke orang. Mereka menawarkan produk, serta mendapat komisi atau basis lain. Pendapatan mereka dapat juga diperoleh dari selisih harga pembelian ke supllier dan penjualan ke konsumen.
Party Plan. Pada model ini seorang penjual, karyawan lepas atau tetap, bertugas mencari atau menjadi tuan rumah yang mengundang sekelompok orang di rumahnya dalam rangka sales party untuk mendemonstrasikan produk. Penghasilan si penjual juga atas dasar selisih harga eceran. Si tuan rumah biasanya diberikan hadiah sebagai tanda terima kasih sesuai dengan nilai penjualan tertentu.
Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa MLM adalah sistem/cara penjualan/pemasaran langsung suatu produk, baik berupa barang atau jasa kepada konsumen (pembeli, pengguna). Dalam perkataan lain, penjualan itu tidak lewat distributor utama – sub–distributor/agen – toko, tapi langsung kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi (penyaluran, pengiriman) barang sangat minim. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh anggota/distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan). Jadi, inti dari sistem MLM bukan semata-mata hendak memperbanyak anggota melainkan hendak menjual produk (barang atau jasa), dengan biaya yang sangat murah dan laba melimpah.
Di samping itu sejak akhir 1990-an berkembang pula di Indonesia perusahaan “MLM jenis lain”, yaitu dalam bisnisnya melakukan penarikan dana dari masyarakat melalui perekrutan anggota seperti yang dilakukan dalam bisnis MLM, namun tanpa produk (barang atau jasa) atau dengan produk sebagai “kedok”. Bisnis ini lebih mengarah pada money game (permainan uang) dengan sistem pemasaran ber Skema Piramida.
Skema Piramida adalah sistem dimana banyak orang yang berada pada lapisan terbawah dari piramida membayar sejumlah uang kepada sejumlah orang yang berada di lapisan piramida teratas. Setiap anggota baru membeli peluang untuk naik ke lapisan teratas dan mendapat keuntungan dari orang lain yang bergabung kemudian. Sebagai contoh, untuk menjadi anggota Anda mungkin harus membayar mulai dari jumlah yang kecil hingga jutaan rupiah. Dalam contoh ini, Anda harus membayar Rp. 10 juta, untuk membeli sebuah tempat pada piramida di lapisan paling bawah. Uang Anda senilai Rp. 5.000.000 akan pindah ke orang lain yang posisinya tepat di atas Anda dan Rp 5.000.000 lainnya beralih ke puncak piramida, atau ke promotor. Bilamana semua posisi yang tersedia dalam skema tersebut telah dipenuhi peserta, promotor akan memperoleh Rp 160 juta, sedangkan Anda dan teman-teman lain yang sama-sama berada di lapisan paling bawah akan kehilangan Rp 10 juta per orang. Apabila promotor telah terbayar, maka posisinya dihilangkan dan yang berada di lapisan kedua akan naik ke puncak. Setelah itu, barulah kedua orang yang tadinya berada pada lapisan kedua akan menikmati keuntungan. Untuk membayar kedua orang ini, lapisan terbawah ditambah 32 posisi baru, dan pencarian peserta baru terus berlanjut. Setiap kali sebuah lapisan naik ke puncak, sebuah lapisan baru harus ditambahkan pada alas piramida, masing-masing 2 kali lebih banyak dari sebelumnya. Apabila jumlah peserta baru mencukupi, maka Anda dan 15 peserta lain yang berada pada lapisan yang sama mungkin dapat mencapai puncak.
Status Hukum Sistem MLM
Bisnis, baik perdagangan maupun jasa termasuk dalam kategori mu’amalah yang hukum asalnya mubah (boleh atau halal) selama memenuhi rukun & syarat yang telah ditetapkan oleh syariat.
Yang dimaksud rukun adalah
- Akad (skim transaksi), seperti jual-beli, jasa, dll.
- ‘Aqidain (kedua belah pihak yang bertransaksi), seperti waras & dewasa
- Ma’qud ‘alaih (barang atau jasa yang ditransaksikan beserta harganya)
- Shigah aqd (bentuk/format Ijab-Qabul/serah terima)
- Unsur Riba
- Ghasy (tipuan)
- Dharar (merugikan pihak lain)
- Gharar (spekulatif)
- Jahalah (tidak jelas dalam hal aqad, aqidain, ma’qud ‘alaih, dan shigah aqad)
- Maisir (gambling, judi)
Setelah melakukan analisa terhadap sistem MLM yang umum digunakan oleh berbagai perusahaan, kami memandang bahwa pada sistem itu terdapat beberapa “komponen” yang perlu disempurnakan dilihat dari aspek rukun & syarat sebagaimana diterangkan di atas. Kesimpulan ini ditetapkan setelah dilakukan analisa terhadap sistem secara utuh (satu kesatuan), tidak parsial (satu persatu sub sistem), sebagai berikut:
Akad (skim transaksi) Yang Dipergunakan
Karena berbeda dengan sistem konvensional, bisnis bersistem MLM sejatinya lebih “irit” dalam melibatkan pihak lain, namun secara real bisnis dengan sistem ini tetap saja melibatkan banyak pihak, sehingga “memicu” digunakannya multi akad.
Berdasarkan penelitian kami diperoleh hasil bahwa bentuk-bentuk akad yang terjadi dalam operasionalisasi direct selling MLM adalah sebagai berikut:
Pertama, apabila perusahaan MLM itu tidak memproduksi sendiri produknya, maka ia melibatkan pihak lain sebagai produsen. Pada saat perjanjian antara produsen dan perusahaan MLM, bentuk akad yang terjadi adalah akad pemberian kuasa, yang dalam literature fiqih termasuk dalam jenis akad yang berupa pemberian kepercayaan dalam kegiatan usaha, bentuknya adalah akad al-wakalah.
Kedua, pada saat seseorang menjadi anggota perusahaan MLM, dia tidak lepas dari tiga posisi : (1) pembeli langsung sekaligus perantara (distributor) dan perantara (perekrut), (2) perantara (distributor) sekaligus perantara (perekrut), (3) perantara saja (distributor atau perekrut).
Disebut pembeli langsung sekaligus perantara dan perantara manakala sebagai member,
a. dia melakukan transaksi pembelian secara langsung (baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock).
b. di saat yang sama dia telah menjadi perantara dalam akad jual-beli antara perusahaan dengan konsumen, yakni sebagai distributor.
c. di saat yang sama pula dia menjadi perantara dalam perekrutan orang lain untuk menjadi member baru meskipun tanpa penjualan produk perusahaan tersebut.
Disebut perantara (distributor) sekaligus perantara (perekrut) manakala “memainkan” fungsi (b) dan (c) sekaligus, namun tidak melakukan fungsi (a)
Disebut perantara saja manakala hanya “memainkan” salah satu di antara fungsi (b) dan (c).
Fungsi (c) inilah yang paling banyak dikembangkan oleh berbagai perusahaan MLM. Dalam konteks akad, ketika memainkan fungsi distributor ia disebut simsar dengan akad samsarah. Namun ketika memainkan fungsi ”perekrut” ia disebut apa dengan akad apa? Dalam literatur fikih, fungsi dan akad seperti ini tidak dikenal.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat multi akad dalam satu akad, yaitu melalui akad pendaftaran, seseorang dapat ”memainkan” beberapa akad yang berbeda, antara lain akad jual-beli saat dia membeli produk dan akad samsarah (makelar) saat dia memperoleh hak bisnis. Jika multi akad ini dalam bentuk jasa disebut shafqatayn fi shafqah dan jika dalam bentuk jual-beli barang disebut bay’atayn fi bay’ah.
Dalam Islam tidak diperbolehkan terjadinya dua akad dalam satu akad/transaksi. Dasar hukumnya adalah adanya hadis yang melarang bentuk dua akad dalam satu transaksi itu.
Ketiga, dalam sistem direct selling MLM, seorang distributor dimungkinkan memperoleh kompensasi ganda dari hasil penjualan yang dilakukannya sendiri maupun dari hasil penjualan yang dilakukan downline yang direkrutnya. Dalam penjualan yang dilakukannya sendiri ia dapat kompensasi sebagai simsar. Namun dari penjualan yang dilakukan downline yang direkrutnya, ia pun memperoleh kompensasi. Kompensasi sebagai apa?
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa dalam sistem ini, seorang upline (makelar yang entah di level berapa dari sistem itu) mencari makelar lain (downline) untuk menawarkan produk perusahaan. Di sini terjadi syamsarah ala syamsarah (memakelari makelar atau maakelar atas makelar), sehingga upline menarik atau mengambil prosentase keuntungan dari downline. Praktek semacam ini dalam hukum Islam hukumnya haram.
Sistem Pendaftaran Anggota
Ketika seseorang menjadi member ia disyaratkan membayar sejumlah uang sebagai biaya pendaftaraan (ada juga yang menyebut biaya administrasi). Besaran biaya yang ditetapkan oleh satu perusahaan bisa berbeda dengan perusahaan lainnya (bahkan di satu perusahaan pun biaya itu bisa berbeda tergantung jenis keanggotaannya).
Atas pembayaran itu perusahaan ”memberi imbalan” (yang lain menyebutnya subsidi) kepada member berupa paket produk yang beragam, meskipun produk umumnya adalah Starter Kit (istilah lainnya Business Kit, distributor kit), yakni alat bantu kerja yang isinya berbeda-beda tergantung dari besaran biaya yang dibayar.
Pada sistem pendaftaran ini terdapat komponen yang harus dicermati secara jeli:
Pertama, terdapat perpindahan sejumlah produk dari perusahaan kepada member, melalui akad pendaftaran (dari pihak member) dan akad “imbalan/subsidi” (dari pihak perusahaan). Yang harus dicermati
1. Apakah paket produk ini diberikan secara cuma-cuma? Kalau diberikan secara cuma-cuma, uang pendaftaran itu dialokasikan untuk apa?
2. Ataukah dibayar oleh member dari uang pendaftaran? Kalau dibayar dari uang pendaftaran mengapa harus dengan istilah pendaftaran & imbalan/subsidi? Padahal didalamnya terdapat akad mix (campuran skim transaksi) untuk produk yang bervariasi, sehingga tidak jelas akad dan ma’qud ’alaih (harga & produk).
Karena itu, selama tidak ada kejelasan akad & ma’qud ’alaih, maka pada ”pendaftaran” ini terdapat unsur jahalah.
Selain untuk kejelasan akad & ma’qud ’alaih, hal ini penting pula untuk mengetahui sumber pembayaran berbagai bonus/komisi/subsidi dalam sistem MLM.
Kedua, pada perusahaan tertentu di dalam pendaftaran itu terdapat “penjualan” produk utama (komoditas) “secara terselubung” (melalui pendaftaran) dengan harga yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Bahkan pada perusahaan lainnya bukan hanya harga yang ditetapkan melainkan dengan jenis produknya. Sebagai contoh kasus, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan A harus membayar uang administrasi sebesar Rp. 100.000. Padahal dalam biaya ini ada alokasi dana untuk pembelian barang, misalnya Sod Tea/Teh kesehatan Rp. 70.000.
Menurut kami, pada sistem penjualan seperti ini terdapat unsur jahalah aqad (ketidakjelasan akad), yakni terjadi perpindahan sejumlah barang dari perusahaan kepada anggota, yang tidak dipesan atau dibelinya, karena ia menyerahkan uang dengan jumlah tertentu adalah untuk pendaftaran keanggotaan, bukan pembelian barang.
Ketiga, pada perusahaan tertentu penjualan ini dilakukan secara transparan melalui akad jual-beli (diterangkan saat pendaftaran), namun yang dibeli adalah poin pembelanjaan minimal, dan poin minimal ini menjadi syarat sah keanggotaan. Sebagai contoh kasus, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan B harus belanja minimal sebanyak 50 poin (= Rp. 165.000). Apabila kurang dari 50 poin, maka keanggotaan itu tidak diterima.
Menurut kami, pada sistem penjualan ini terdapat unsur:
(a) jahalah ma’qud ‘alaih (ketidakjelasan barang dan harga), yakni apakah anggota itu diharuskan membeli barang seharga tertentu atau membeli poin dengan harga tertentu.
(b) Dharar (merugikan pihak pembeli), yakni kebebasan si pembeli dalam menentukan jumlah/nilai belanja sudah dirampas oleh si penjual. Karena dalam Islam, yang berhak menentukan jumlah belanja adalah si pembeli.
Keempat, pada perusahaan tertentu nilai pembelanjaan ditentukan oleh pihak perusahaan dan barangnya ditentukan kemudian. Sebagai contoh, seseorang yang hendak menjadi anggota perusahaan C diharuskan belanja minimal Rp. 500.000 dan produknya ditentukan kemudian.
Menurut kami, pada sistem penjualan ini pun terdapat unsur:
(a) Dharar (merugikan pihak pembeli)
(b) jahalah ma’qud ‘alaih (ketidakjelasan barang)
Sistem Perbonusan
Multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran — tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus (istilah lainnya komisi, subsidi). Sistem bonus/komisi ini merupakan ciri khas sistem MLM.
Bentuk bonus yang ditetapkan oleh berbagai perusahaan MLM bermacam-macam, namun pada umumnya jenis bonus yang diterapkan adalah bonus pembelian langsung (istilah lainnya bonus eceran, komisi keuntungan langsung, keuntungan eceran), yaitu keuntungan yang didapat seorang member dari selisih harga beli (harga distributor) dan harga jual (harga konsumen) Contoh: Produk Teh, harga untuk anggota Rp 22.000 ; harga untuk konsumen Rp 27.500. Maka anggota itu mendapat bonus sebesar Rp 5.500 (Rp 27.500 – Rp 22.000).
Selain bonus ini, berbagai bonus yang diberikan kepada anggota pada umumnya ditetapkan berdasarkan dua sistem; akumulasi poin dan pengembangan jaringan
Pertama, akumulasi poin.
Apa yang dimaksud poin dalam sistem MLM?
Menurut penelitian kami, setiap produk yang dijual melalui sistem MLM memiliki value (nilai) ganda:
(1) Nilai manfaat atau kemampuan produk yang diwujudkan dalam satuan uang yang disebut tsaman (harga). Dalam konteks jual-beli terjadi tabaduli (pertukaran) antara tsaman (harga) dengan mutsman (barang). Penjual dapat uang, pembeli dapat barang. Dalam konteks ijarah terjadi tabaduli (pertukaran) antara tsaman (harga) dengan mutsman (tenaga/intelektual). Pemberi jasa dapat uang, penyewa jasa dapat karya.
(2) Nilai fungsional untuk menghitung nilai bonus member sesuai dengan posisi/prestasi dan persyaratannya yang diwujudkan dalam satuan nominal yang disebut Point Value (PV) istilah lainnya Bonus Value (BV)
Standar nominal poin yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan MLM bervariasi. Misalnya PT. R menetapkan tiap 10 poin bernilai/seharga Rp. 26.000, sedang PT U menetapkan tiap 50 poin seharga Rp 165.000.
Adapun yang dimaksud dengan akumulasi poin adalah poin pembelanjaan member (upline) dan jaringannya (downline) dalam masa tertentu sebagai syarat untuk mendapatkan bonus bulanan atau tahunan. Contoh kasus, seorang member perusahaan C akan mendapatkan bonus bulanan apabila;
1. dapat mengumpulkan poin pembelanjaan pribadi pada bulan itu minimal 200 poin (200:10 = 20 X @ Rp. 26.000 = Rp. 520.000)
2. memiliki tiga orang anggota (down line), dengan jumlah poin pembelanjaan 900 poin atau 300 poin/member (900:10 = 90 x @ Rp. 26.000 = Rp. 2.340.000)
Dari akumulasi poin member & jaringannya itu ditetapkan prosentase tertentu sebagai bonus bulanan atau tahunan.
Karena poin ini yang menjadi standar penetapan bonus, maka secara faktual yang “dikejar” oleh member bukan lagi jumlah pembelanjaan, bukan lagi harga barang (mahal & murahnya) tetapi besarnya Point Value yang terkandung dalam barang tersebut.
Dengan adanya value ganda pada setiap produk MLM, maka terjadi unsur jahalah ma’qud ‘alaih (produk & harga) yaitu:
(1) Apakah poin itu mutsman (produk) atau tsaman (harga)?
(2) Apakah yang dibeli member itu barang seharga tertentu ataukah poin dengan harga tertentu?
Kedua, pengembangan jaringan.
Yaitu jumlah anggota baru yang direkrut dan level jaringan yang dibangun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Sebagai contoh, seorang anggota akan mendapatkan bonus Rp. 780.000/bulan, bila memenuhi ketentuan:
1. mempunyai jaringan satu level; 5 orang di sebelah kanan dan 5 orang di sebelah kiri.
2. Jumlah pembelanjaan pribadi member (upline) itu minimal mencapai 500 poin
3. Jumlah pembelanjaan member pada level itu (downline) mencapai 5000 poin (500 poin/member)
Jumlah poin pembelajaan dan jumlah member yang direkrut ini menjadi dua syarat yang tidak dapat dipisahkan untuk perolehan berbagai macam bonus di hampir semua bisnis MLM. Bahkan syarat ini terikat pula dengan ketentuan waktu tertentu yang kemudian melahirkan sistem tupo (tutup poin), yaitu jumlah poin yang harus dipenuhi oleh anggota untuk minggu, bulan, dan tahun tertentu (misalnya, satu minggu 250 poin, satu bulan 500 poin, satu tahun 6000 poin). Jumlah poin ini harus seimbang atau merata antara anggota dan jaringannya. Jika anggota (up line) saja yang melakukan tutup poin, sementara seluruh anggota (down line) pada jaringannya tidak melakukan tutup poin, maka up line itu tidak mendapatkan apa-apa (poinnya tidak dihitung/tidak bernilai), bahkan pada sebagian perusahaan poin yang sudah diperoleh pun dinyatakan hangus, dan ia harus memulai dari nol lagi. Sebagai contoh, anggota bernama Badu telah melakukan tutup poin pada bulan: Jan-Peb-(Mar tidak tercapai)-Apr-Mei-(Jun tidak tercapai)-Jul-Ags-Sep-Okt-Nop-Des, maka yang dihitung hanya untuk bulan Juli hingga Desember saja (6 bagian), sedang bulan sebelumnya dianggap hangus.
Jika kita cermati sistem perbonusan di atas, maka pada sistem ini terdapat unsur dharar (merugikan pihak lain) dan maisir (judi, gambling), yaitu poin milik anggota (upline) diambil oleh perusahaan karena kegagalan yang dialami oleh anggota (downline), yakni tidak dapat mencapai target tupo. Padahal poin itu milik anggota yang telah diperoleh setiap kali membeli produk. Disamping itu pada sistem ini terdapat jahalah akad, yakni menjadi milik siapa bonus dan poin yang dianggap hangus itu.
Kemudian pada sistem bonus tertentu seperti kendaraan, terdapat unsur ghasy (penipuan), yaitu mempergunakan istilah bonus padahal kenyataannya barang yang dimiliki itu diperoleh melalui pembelian secara kontan atau kredit dengan syarat-syarat tertentu, antara lain
a] memiliki poin pembelanjaan pribadi sesuai poin minimal
b] memiliki jaringan di bawahnya dengan jumlah poin tertentu.
Sebagai contoh, seorang anggota akan mendapatkan bonus kompetisi berupa sedan baleno apabila memenuhi syarat;
(a) memiliki poin pembelanjaan sebanyak 200 poin = Rp. 660.000 (per 50 poin = Rp. 165.000),
(b) memiliki 3 anggota di bawahnya, dengan poin 1.500/member (30 x Rp. 165.000 = 4.950.000).
Dengan demikian jumlah poin grup yang berhasil dikumpulkan sebanyak 200 + 4500 = 4700 (94 x Rp. 165.000 = 15.510.000), maka ia akan mendapatkan bonus sebesar 3 % dari jumlah poin grup = Rp. 465.300.
Jumlah poin ini harus dicapai selama 6 x berturut-turut. Apabila target ini tercapai maka ia memperoleh kesempatan untuk mendapatkan sedan baleno. Adapun cicilan itu dihitung oleh perusahaan dari keuntungan 3 % yang diperoleh anggota tiap bulan.
Berbagai Bonus Lainnya
Dalam perjalanan selanjutnya, berbagai bonus itu dikembangkan lagi (terutama oleh perusahaan berkedok MLM) dalam upaya meraup laba sebesar-besarnya dengan “menggaet” member sebanyak-banyanya melalui “pintu” pendaftaran, sebagai contoh kasus sistem perbonusan yang digunakan oleh PT. D, sebagai berikut:
1. Komisi/bonus/subsidi sponsor
Komisi ini diklaim oleh perusahaan sebagai imbalan bagi member lama (A) karena berhasil menggaet member baru (B), sebesar Rp. 20.000.
Kalau dianalisa secara cermat, hemat kami komisi ini diberikan bukan semata-mata karena bergabungnya member baru, karena perusahaan MLM bukan jaringan orang (seperti paguyuban atau ormas), tapi “jaringan bisnis” (member = income). Artinya, setiap terjadi penambahan member maka secara otomatis perusahaan mendapat income (“laba” & modal kembali), yaitu dari “penjualan” produk “secara terselubung” (melalui pendaftaran). Apabila jahalah akad & ma’qud ‘alaih ini tidak diclearkan dalam bentuk pemilahan akad, maka uang yang diterima oleh member pun diragukan kehalalannya karena tidak jelas sumbernya. Sebagai ilustrasi:
Diasumsikan bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Keterangan:
Produk 1: kartu HU (hak keagenan pulsa), content Business School, Education Pack.
Produk 2: Training & Seminar-seminar Pengembangan Diri dan program CRP.
Produk 3: asuransi kecelakan.
Dari pos mana komisi Rp. 20.000 itu diberikan? Bila dari biaya pendaftaran, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, maka komisi ini tidak jelas sumbernya.
2. Komisi/bonus/subsidi titik pengembangan
Komisi ini diberikan karena ada penambahan 1 member di jaringan member lama, tanpa harus seimbang (kaki kiri & kanan). Komisi ini sebesar Rp. 1.000/titik pengembangan.
Kalau dianalisa secara cermat, dalam sistem ini terdapat pula unsur jahalah akad, yaitu atas dasar apa diberikan? Agar lebih jelas kita bandingkan dengan sistem komisi sponsor, yaitu:
Ketika member lama (A) berhasil menggaet member baru (B), ia mendapat imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Berarti A berjasa kepada PT. D. Tapi ketika member B menggaet member baru (C), member A mendapat Rp. 1.000 (komisi titik). Apa jasa A kepada PT. D? Diklaim karena ia berjasa telah “membina” B. Bagaimana kalau ia tidak membina, dan yang aktif itu member B? Kalau alasannya karena “membina” berarti ia tidak mendapat komisi itu. Tapi faktanya tidak demikian, A tetap saja mendapatkannya. Berarti Rp. 1.000. itu tidak jelas uang apa?
Andaikata karena jasa “membina”, mengapa “harganya” demikian murah (Rp. 1000). Apa yang jadi pembeda nilai “sponsor” dengan “membina” sehingga “harganya” berbeda dengan komisi sponsor Rp. 20.000? Juga bandingkan dengan jumlah “laba” yang didapat PT. D atas jasa dia! Sebagai ilustrasi:
Berdasarkan asumsi yang digunakan di muka, dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Ketika A, lalu B, lalu C bergabung maka PT. D dapat “laba” sebesar Rp. 255.000 (Rp. 85.000 x 3 member). Atas “jasa pembinaan” A berarti PT. D memperoleh “laba” sebesar Rp. 170.000, sedangkan A mendapat Rp. 1.000. Jadi, tidak logis apabila pemberian itu atas dasar “jasa” pembinaan.
Kemudian dari pos mana komisi Rp. 1.000 itu diberikan? Apabila dari biaya pendaftaran para member, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, komisi ini diragukan kehalalannya.
3. Komisi/bonus/subsidi pasangan
Komisi ini diberikan karena terjadi pasangan di jaringan seorang member, secara seimbang (1 kanan : 1 kiri) tanpa batasan level. Tapi dibatasi maksimal 12 kanan: 12 kiri. Komisi ini misalnya berupa uang sebesar Rp. 22.500 dan deposit pulsa senilai Rp. 7.500.
Sistem ini merupakan pengembangan dari sistem komisi sponsor & titik, dilihat dari 3 aspek:
(1) syarat keseimbangan/pasangan (1 kanan:1 kiri)
(2) besaran & bentuk bonus yang diterima member
(3) terdapat batasan maksimal pasangan perhari
Kalau dianalisa secara cermat, pada sistem ini pun terdapat jahalah akad, yaitu:
1. Atas dasar apa diberikan? Agar lebih jelas kita banding dengan sistem komisi sponsor, yaitu:
Ketika member lama (A) berhasil menggaet member baru (B), ia mendapat imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Lalu ia berhasil pula menggaet member baru (C), berarti ia mendapat lagi imbalan Rp. 20.000 (komisi sponsor). Karena terjadi pasangan antara B (di kanan) & C (di kiri) ia berhak mendapatkan pula imbalan (komisi pasangan) berupa uang sebesar Rp. 22.500 dan deposit pulsa senilai Rp. 7.500
Pada komisi sponsor tampak jelas bahwa komisi ini diberikan sebagai “imbalan atas keberhasilan” seorang member menggaet member baru. Sedangkan pada komisi pasangan tidak jelas atas keberhasilan apa? Kalau alasannya “prestasi dalam membuat pasangan kanan-kiri” maka alasan ini pun tidak tepat dilihat dari sisi fakta, karena pasangan itu bisa “direkayasa” secara otomatis tanpa harus “berprestasi”, yakni dengan cara membeli hak usaha minimum 3. Sebagai ilustrasi:
Ilustrasi I: A membeli 3 hak usaha (A 1, A 2, A3) Rp. 500.000 (Rp. 200.000 + Rp. 150.000 x 2) atas nama sendiri. Lalu oleh A, A 1 diposisikan sebagai upline, A 2 sebagai downline kaki kiri dan A 3 sebagai down line kaki kanan. Maka secara otomatis oleh program komputer dibuat sebagai “pasangan” A+B.
Karena terjadi pasangan A dikiri & B dikanan, maka A mendapat komisi berupa uang Rp. 22.500 dan berupa deposit pulsa Rp. 7.500. Jika demikian faktanya, apa prestasi A sehingga dia “harus” mendapatkan komisi pasangan?
Ilustrasi II: A membeli lagi 6 hak usaha Rp. 1.200.000 (Rp. 200.000 x 6) atas nama orang lain, yaitu modal dari A tapi yang didaftarkan sebagai member orang lain (B, C, D, E, F, G), baik atas persetujuannya ataupun tidak (tulis tonggong). Lalu oleh A, di bawah A 1 disimpan B+C sebagai downline, dan di bawah A 2 disimpan D+E sebagai downline. Di bawah B disimpan F dan di bawah D disimpan G.
Maka secara otomatis oleh program komputer nama-nama member itu dibuat sebagai jaringan A secara “pasangan”. Setiap kali terjadi pasangan, maka A mendapat komisi sesuai banyaknya pasangan itu terjadi. Dan jaringan ini dapat direkayasa sedemikian rupa oleh upline sesuai dengan kehendaknya tanpa batasan level, karena sistem komputer bekerja berdasarkan input data, bukan fakta prestasi. Jika demikian faktanya, apa prestasi A sehingga dia “harus” mendapatkan komisi pasangan?
2. Mengapa bentuk komisi itu tidak semuanya cash atau semuanya deposit pulsa? Mengapa depositnya hanya Rp. 7.500? Apakah pulsa itu diberikan secara gratis oleh PT. D atau sebenarnya dibeli oleh member? Untuk lebih jelasnya kita kaji dengan menggunakan asumsi yang digunakan di muka, yakni bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT. D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Ketika A membeli 3 hak usaha Rp. 600.000 (Rp. 200.000 x 3), PT. D dapat “laba” sebesar Rp. 255.000 (Rp. 85.000 x 3 HU). Andaikata komisi sponsor bersumber dari “biaya pendaftaran” maka setelah dikurangi biaya komisi sponsor Rp. 40.000 (Rp. 20.000 x 2 member) tersisa “laba” sebesar Rp. 215.000 (Rp. 255.000 – Rp. 40.000).
Andaikata komisi pasangan bersumber dari “biaya pendaftaran” dan semuanya dalam bentuk cash (Rp. 30.000) maka “laba” terambil sebesar Rp. 30.000 sehingga tersisa Rp. 180.000 (Rp. 215.000 – Rp. 30.000) dan “stock pulsa” PT. D di all operator tidak “terjual”. Namun dengan komposisi cash Rp. 22.500 & deposit pulsa Rp. 7.500, maka “laba” yang terambil lebih sedikit sebesar Rp. 22.500 sehingga sisa “laba” lebih besar Rp. 192.500 (Rp. 215.000 – Rp. 22.500). Dengan perkataan lain menghemat Rp. 7.500. Di sisi lain “stock pulsa” PT. D di all operator menjadi “terjual”. Berapa harga belinya? Kita asumsikan saja Rp. 5000. Berarti PT. D dapat “laba” pula dari “jual” pulsa sebesar Rp. 2.500.
Jadi, hemat kami dengan sistem ini (tidak semuanya cash) PT. D mendapat 2 keuntungan sekaligus: pertama, “laba” dari biaya pendaftaran tidak banyak “terambil”. Kedua, “laba” penjualan pulsa kepada member “atas nama komisi”, yakni “laba” dari selisih harga “pembelian” (asumsi Rp. 5000) dari All operator dengan harga “jual” kepada member (Rp. 7.500).
Bila demikian halnya, dalam sistem komisi ini terdapat unsur jahalah akad antara jual-beli & komisi, serta unsur ghasy (penipuan) “jual beli” terselubung atas nama komisi dalam bentuk deposit pulsa.
3. Mengapa dibatasi hanya sampai 12 pasangan setiap hari? Alasannya agar perusahaan tidak merugi. Seberapa besar kerugiannya bila pasangan itu tidak dibatasi?
Sebagai ilustrasi: A “mempunyai” member sebanyak 13 di kaki kiri dan 15 di kaki kanan. Seharusnya A mendapat komisi pasangan 13, yakni berupa uang Rp. 292.500 (13 x Rp. 22.500) dan deposit pulsa 97.500 (13 x Rp. 7.500). Dengan alasan agar tidak merugi, maka yang dihitung tetap 12 pasang.
Benarkah akan merugi jika dihitung 13 pasang? Untuk lebih jelasnya kita kaji dengan menggunakan asumsi yang digunakan di muka, yakni bahwa dari setiap member baru yang bergabung PT.D mendapat “laba” sebesar Rp. 85.000/member, dengan rincian:
A. Produk 1 = Rp. 35.000
B. Produk 2 = Rp. 40.000
C. Produk 3 = Rp. 10.000
Jika total member pada jaringan A sebanyak 28 orang (13 kiri & 15 kanan), maka PT.D mendapat ”laba” sebesar Rp. 2.380.000.
Andaikata komisi sponsor, komisi titik & komisi pasangan 13 (Rp. 295.000) bersumber dari “biaya pendaftaran”, maka setelah dikurangi biaya komisi-komisi itu, apakah PT.D tidak mendapat ”laba”?
Justru dengan sistem flush out/rolling ini, PT.D mendapat 2 keuntungan sekaligus: pertama, “laba” dari biaya pendaftaran tidak banyak “terambil”, karena hanya “berkewajiban” membayar 12 pasang. Kedua, “laba” penjualan pulsa kepada member “atas nama komisi”, yakni “laba” dari selisih harga “pembelian” dari All operator (misalkan Rp. 60.000) dengan harga “jual” kepada member Rp. 90.000. Asumsi ini hanya dari jaringan seorang member saja. Bagaimana kalau dari 20 member yang masing-masing punya jaringan seperti member A?
Karena itu, semakin banyak ”pasangan” yang tercipta setelah ”pasangan 12” dan member yang menunggu pasangan di salah satu ”kaki”, maka semakin banyak pula keuntungan yang didapat oleh PT.D, karena sebanyak/sepanjang apapun ”pasangan” itu tercipta perusahaan hanya ”berkewajiban” membayar 12 pasang saja. Benarkah rugi?
Pertanyaan berikutnya: kemana ”larinya” 1 pasang (1 kiri & 1 kanan) dan 2 member kaki kanan (yang menunggu pasangan kaki kanan). Jawabannya masuk ke perusahaan. Berarti perusahaan tidak mau merugi dengan cara merugikan pihak member, yakni hilangnya hak komisi pasangan ke-13.
Bila demikian halnya, maka dalam sistem ini terdapat beberapa unsur yang bertentangan dengan syariat:
1. unsur ghasy (penipuan) atas nama ”agar tidak merugi”, padahal kenyataannya PT.D mendapat keuntungan ganda dan “jual beli” terselubung atas nama komisi dalam bentuk deposit pulsa.
2. jahalah akad, yakni antara jual-beli & jasa
3. dan dharar (merugikan pihak lain), yakni hilangnya hak member untuk mendapatkan komisi pasangan 13 & selanjutnya
4. Apabila komisi itu bersumber dari biaya pendaftaran, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, maka komisi ini diragukan kehalalannya.
4. Komisi/bonus/subsidi Duplikasi
Adapun sistem komisi duplikasi masalahnya tidak berbeda dengan komisi titik, yakni tidak jelasnya akad dan sumber komisi itu. Apabila dari biaya pendaftaran para member, maka selama akad & ma’qud ‘alaih di awal “pendaftaran & subsidi” tidak dapat dipilah, komisi ini diragukan kehalalannya.
B. Sistem di Lapangan
Aspek ini penting untuk dicermati karena seringkali sistem yang tertulis dianggap tidak bermasalah, namun tidak demikian dengan realita atau kenyataan dilapangan. Karena tidak sedikit jaringan anggota sebuah perusahaan MLM tertentu yang membangun sistem operasional tersendiri yang berbeda bahkan menyimpang dari sistem atau kebijakan perusahaannya.
Pada umunya sistem ini dibangun karena dipicu oleh sistem tutup poin yang diberlakukan oleh perusahaan, sehingga berbagai cara ditempuh untuk mencapai target tersebut. Misalnya agar tutup poin dapat tercapai dan tidak mengalami hangus, seorang anggota membeli posisi/jenjang karir sebesar Rp. 30.000.000, sehingga secara otomatis ia mendapatkan sejumlah poin dan jaringan anggota (down line). Dengan cara seperti itu berbagai macam bonus dapat diperoleh dengan mudah tanpa harus menjual produk dan merekrut anggota.
Dalam kasus tertentu sistem keanggotaan & pengembangan jaringan yang dibuat sedemikian rupa oleh suatu perusahaan tetap ”dapat” disiasati sehingga unsur manipulasi keanggotaan dalam jaringan tetap terjadi.
Karena itu, perkembangan jaringan seorang member tidak identik dengan kerja keras dia dalam merekrut anggota baru, dan mensupport anggota baru itu untuk melakukan hal yang sama (duplikasi), karena perkembangan itu dapat dibangun berdasarkan ”pembelian titik”, sehingga kedalaman generasi yang dibangun tergantung berapa banyak uang yang dimiliki untuk membeli titik itu sesuai target penghasilan yang ingin dicapai olehnya.
Secara praktik hal itu dapat dilakukan dengan cara membeli HU sebanyak-banyaknya dengan meminjam nama orang lain (tulis tonggong), termasuk anak-anak & orang yang sudah meninggal dunia. Sebagai contoh: Untuk melipatkan gandakan penghasilan dari komisi pasangan sebesar Rp. 1.890.000/hari, seorang member tidak perlu merekrut member baru/membangun jaringan hingga tercapai 12 pasangan di kaki kiri & kaki kanan, tapi cukup mengeluarkan modal dalam jumlah tertentu untuk membeli HU sebanyak-banyak dengan nama orang lain, sehingga jaringan itu secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya, dan target penghasilan itu akan tercapai, sehingga seringkali yang terjadi perusahaan hanya menjual kartu, terserah siapa yang menggunakan, karena secara praktik aktivasi itu bisa dilakukan oleh siapa pun.
Yang perlu menjadi catatan, sistem perusahaan tidak bisa mencegah terjadinya praktik seperti ini dan atau perusahaan tidak mau tahu (yang penting income masuk ke perusahaan), padahal praktik ini bertentangan dengan aturan syariat dilihat dari segi ’aqidain (orang yang bertransaksi), yaitu tidak jelas siapa sebenarnya yang bertransaksi dengan perusahaan itu?
Setelah memperhatikan berbagai aspek di atas, kami berkesimpulan bahwa
1. Pada umumnya sistem MLM yang berlaku sekarang tidak terlepas dari unsur jahalah (ketidakjelasan), dharar(merugikan pihak lain), maisir (gambling), dan gasy (penipuan), baik pada sistem yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan maupun sistem operasional yang dikembangkan oleh grup masing-masing anggota di lapangan.
2. Bisnis melalui MLM yang tidak terlepas dari unsur-unsur di atas hukumnya haram.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar